Dalam tiga hari ini, ditengah krisis Covid-19 dan perlambatan ekonomi yang belum teratas, publik disuguhi dua kali penampilan media Kepala KSP Moeldoko yang berlangsung kikuk, canggung dan kontradiktif. Padahal sebagai pejabat Istana, Moeldoko harusnya tampil mewakili Istana dengan berwibawa dan sungguh-sungguh.
Demikian pengamatan Renanda Bachtar, praktisi media dan periklanan, mencermati dua kali kemunculan Jend. Purn. Moeldoko di berbagai televisi nasional. “Pada era post truth ini, penampilan dan konten sama pentingnya,” ujar Renan yang lama malang melintang di dunia pertelevisian.
Dalam penampilan yang pertama (1/2) melalui platform virtual, Moeldoko muncul mengenakan kemeja putih seragam Istana dengan pin yang tersemat di dadanya. Terlihat tergesa-gesa, Moeldoko tampil untuk menanggapi pernyataan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono pada hari yang sama.
Pada pagi harinya, AHY muncul di depan wartawan mengenakan kemeja seragam Demokrat lengan pendek dan mengenakan celana jins di taman kantor DPP yang asri. Dengan tenang dan teratur, dia mengungkapkan ada campur tangan yang terstruktur dan sistematis dari pihak luar partai , bekerjasama dengan sejumlah mantan kader untuk mengganti kepemimpinan Partai Demokrat yang sah.
AHY mengungkapkan pihak eksternal tersebut mengaku mendapat restu dari sejumlah pejabat tinggi. “Kami tidak mudah percaya dan tetap mengedepankan asas “praduga tak bersalah” dalam permasalahan ini. Karena itu, tadi pagi, saya telah mengirimkan surat secara resmi kepada Bapak Presiden Joko Widodo untuk mendapatkan konfirmasi dan klarifikasi dari beliau terkait kebenaran berita yang kami dapatkan ini,” kata AHY.
Dalam penjelasannya, Moeldoko tidak menyangkal. Tapi saat mengatakan bahwa apa yang ia kerjakan merupakan urusan pribadi dan tidak ada hubungannya dengan Istana, netizen dan media langsung mempersoalkan pin dan fasilitas virtual meeting yang ia gunakan.
Moeldoko mengakui ia grogi. Usai menutup jumpa pers di kediamannya (2/2), Moeldoko yang sudah melangkah ke dalam rumah, tiba-tiba berbalik, merapikan rambutnya dengan tangan, lalu kedua tangannya memegang mikrofon, “Jangan entar dibilangi pak Moeldoko gak percaya diri waktu berbicara. Ini kebetulan waktu saya bicara, dibawah begini nih, duduk lagi, jadinya gak enak. Sekarang kan gagah gua. Moeldoko gak pernah gak percaya diri. Catat itu.” Dalam penampilannya yang kedua, Moeldoko mengenakan batik lengan panjang. Tapi gerak tangan dan tubuhnya yang tidak bisa diam sepanjang jumpa pers, mengesankan kegelisahan.
Ini makin tampak saat wartawan bertanya apa benar dia tidak punya ambisi jadi capres 2024. Moeldoko terdiam sesaat. Wajahnya tersenyum canggung, lalu menjawab, “Gak usah..gak usah.. pertanyaannya gak usah nakal begitu ah.” Terdengar derai tertawaan wartawan.
Sebagai orang yang lama bergelut dalam dunia media dan periklanan, Renan mengakui gerak tubuh dan cara bicara Moeldoko seperti menyembunyikan sesuatu. “Kalau menyembunyikan sesuatu, kita bisa mengatur omongan, tapi sulit menyembunyikan bahasa tubuh kita. Padahal riset menunjukkan 70% komunikasi antar personal, dicerminkan oleh bahasa tubuh,” kata Renan.
Ia menganjurkan Moeldoko untuk bicara terbuka dan apa adanya, sehingga tidak menimbulkan spekulasi tentang upaya pengambilalihan paksa Partai Demokrat, yang merupakan cara-cara kotor era lama.
“Presiden Jokowi sudah menegaskan komitmennya untuk menegakkan demokrasi dan berpolitik secara santun,” kata Renan mengingatkan, “Harusnya pak Moeldoko menghormati komitmen tersebut."
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: