Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ungkapkan UU ITE Tak Adil, Jokowi Ditantang Masyarakat Sipil Begini...

Ungkapkan UU ITE Tak Adil, Jokowi Ditantang Masyarakat Sipil Begini... Tersangka Petinggi Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jumhur Hidayat (kanan) tiba untuk menjalani pemeriksaan di gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (16/10/2020). | Kredit Foto: Antara/Reno Esnir
Warta Ekonomi, Jakarta -

Koalisi Masyarakat Sipil yang merupakan gabungan dari sejumlah organisasi, mendesak agar Presiden Jokowi segera merealisasikan revisi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Tak hanya itu, Koalisi Masyarakat Sipil juga meminta agar Presiden mencabut semua pasal karet.

"Koalisi menyatakan, desakan kepada Presiden Jokowi untuk merealisasikan pernyataan yang disampaikan untuk melakukan revisi UU ITE," kata peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Sustira Dirga melalui keterangan resminya, Selasa (16/2/2021).

Baca Juga: Demokrat Berani Tuding Jokowi Gagal Gunakan UU ITE

Senin (15/2/2021) Presiden Jokowi dalam rapat tertutup dengan pimpinan TNI dan Polri di Istana Negara menyatakan membuka ruang untuk duduk bersama dengan DPR untuk merevisi UU ITE.

"Koalisi mendukung pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam membuka wacana Revisi UU ITE tersebut, namun pernyataan tersebut tidak boleh sebatas pernyataan retorik ataupun angin segar demi populisme semata. Pernyataan tersebut harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkret," ucap Dirga.

Atas dasar itu, sambung Dirga, loalisi menyatakan beberapa hal yang perlu diperhatikan jika Pemerintah ingin serius mengubah UU ITE. Diantaranya, seluruh pasal - pasal yang multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi dalam UU ITE sudah seharusnya dihapus.

Menurutnya, pasal-pasal dalam UU ITE yang sudah diatur dalam KUHP, justru diatur secara buruk dan tidak jelas rumusannya disertai dengan ancaman pidana lebih tinggi. Dalam keyakinan ICJR, LBH Pers dan IJRS, hal ini menyebabkan banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang dilanggar akibat penggunaan pasal-pasal duplikasi dalam UU ITE.

"Misalnya, Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang memuat unsur “melanggar kesusilaan”. Pasal ini seharusnya dikembalikan kepada tujuan awalnya seperti yang diatur dalam Pasal 281 dan pasal 282 KUHP dan atau UU Pornografi bahwa sirkulasi konten melanggar kesusilaan hanya dapat dipidana apabila dilakukan di ruang dan ditujukan untuk publik, bukan justru diatur dengan konteks dan batasan yang tidak jelas," bebernya.

Selama ini, kata Dirga, Pasal 27 ayat (1) UU ITE justru menyerang kelompok yang seharusnya dilindungi, dan diterapkan berbasis diskriminasi gender.

Kemudian, Pasal 27 ayat (3) juga kerap kali digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang online. Meskipun, kata Dirga, dalam penjelasannya telah dirujuk ke Pasal 310 dan Pasal 311.

"Namun dalam praktik seringkali diabaikan sebab unsur 'penghinaan' masih terdapat di dalam pasal. Pasal ini seharusnya dirumuskan dengan sangat jelas," ucap Dirga.

Sebagaimana komentar umum PBB Nomor 34 merekomendasikan dihapusnya pidana defamasi. Jika tidak memungkinkan, aplikasi diperbolehkan hanya untuk kasus paling serius dengan ancaman bukan pidana penjara.

"Selain itu, pidana penghinaan pun tidak lagi relevan dalam banyak aspek menggunakan hukum pidana, aparat sudah mulai harus mengarahkan delik penghinaan ke ranah perdata yang memang sudah diakomodir misalnya dalam 1372 KUHPerdata (BW)," tekannya.

Contoh lainnya yang harus diperhatikan yakni pasal tentang penyebaran informasi yang menimbulkan penyebaran kebencian berbasis SARA sebagaimana diatur dalam 28 ayat (2) UU ITE. Pasal ini, dianggap Dirga, tidak dirumuskan sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian.

"Pasal ini justru menyasar kelompok dan individu yang mengkritik institusi dengan ekspresi yang sah, lebih memprihatinkan pasal ini kerap digunakan untuk membungkam pengkritik Presiden, sesuatu yang oleh Mahkamah Konstitusi dianggap inkonstitusional saat menghapus pasal tentang penghinaan terhadap Presiden," ucapnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: