Ngeri...! Gara-Gara Ini, China Diramal Rugi Bandar Hingga US$400 Miliar Lebih
Para peneliti memperkirakan China akan mengalami kerugian senilai US$417 miliar atau setara 2,7% dari produk domestik bruto (PDB) miliknya pada tahun 2021. Kerugian tersebut diakibatkan oleh pandemi Covid-19 meski ekonomi Negeri Tirai Bambu itu dinilai masih dapat tumbuh lebih dari 8%.
Merujuk ke South China Morning Post, tim dari Chinese Academy of Sciences’ Centre for Forecasting Science and the University of Kansas menilai sektor industri dan pengolahan masih akan menanggung dampak terbesar dari pandemi Covid-19, di mana output keduanya diperkirakan turun antara 2,8% dan 5,4%. Baca Juga: Bakal Hijrah 100% ke Mobil Listrik, Volvo: Tak Ada Pelanggan yang Mau Pakai Mobil Bensin!
Lebih lanjut, para peneliti melalui jurnal yang diterbitkan di China Economiccs Review pada Sabtu lalu menyebutkan China akan menguras dana antara 1,2% dan 2,7% dari PDB untuk menangani virus corona. Jika ditinjau berdasarkan nilai ekonominya pada 2020 yang senilai US$101,6 triliun yuan (US$15,7 triliun), persentase tersebut setara dengan 1,2 triliun yuan hingga 2,7 triliun yuan. Baca Juga: Gudang Garam Rogoh Kocek Lebih Dalam, Setor Triliunan Rupiah Lagi Buat Bangun Bandara Kediri
Terlepas dari potensi kerugian tersebut, China diklaim masih berada di posisi yang baik untuk mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang kuat pada tahun ini, "Ekonomi Cina bisa mencapai pertumbuhan hingga 8,1% pada 2021."
Perlu diketahui, Beijing memberlakukan penguncian menyeluruh pada awal 2020 setelah virus corona pertama kali diidentifikasi di pusat kota Wuhan. Langkah tersebut menelan biaya setara dengan 3,5% dari PDB pada tahun tersebut karena ribuan bisnis, terutama di sektor ritel, transportasi, makanan dan minuman, perhotelan dan jasa lainnya, mengalami penurunan penjualan dan laba, kata studi tersebut.
Kerusakan terparah dilaporkan pada kuartal pertama, dan pada akhir tahun, ekonomi telah pulih mencatat pertumbuhan 2,8% tahun ke tahun, turun dari 6% pada 12 bulan sebelumnya. Menurut penelitian tersebut pula, ancaman terbesar bagi ekonomi China pada tahun 2021 itu akan turut menjadi guncangan harga internasional.
Banyak negara berusaha menopang ekonomi mereka dengan mencetak uang tunai dalam jumlah besar, yang telah menyebabkan inflasi dan menaikkan harga komoditas dan bahan mentah. Akibatnya, banyak pabrikan China, terutama yang melayani negara berkembang, harus mengalami kerugian finansial karena mereka tidak dapat meneruskan kenaikan harga kepada pelanggan mereka.
Banyak mitra dagang regional terbesar China, termasuk Korea Selatan, Jepang dan negara-negara Asia Tenggara, juga akan merasakan dampak dari penurunan PDB, kata studi tersebut, menambahkan bahwa Australia, Uni Eropa dan Amerika Serikat juga akan terpengaruh, tetapi pada tingkat lebih rendah.
Terlepas dari perkiraan para peneliti, seorang ekonom dari Universitas Tsinghua di Beijing mengatakan kompleksitas China dan ekonomi global berarti bahwa menggunakan model makroekonomi untuk meramalkan tren bukanlah ilmu pasti.
"Perubahan tak terduga dari pandemi seperti mutasi dapat membawa banyak ketidakpastian ke dalam hasil mereka," kata seroang sumber yang tidak ingin disebutkan namanya.
Yang dan Cai mengatakan model mereka terdiri dari lebih dari 100 persamaan yang mensimulasikan aktivitas dan interaksi terkait penawaran dan permintaan, perdagangan dan investasi luar negeri, kebijakan fiskal, dan pasar keuangan.
Sebelum pandemi, model tersebut telah memprediksi pertumbuhan ekonomi China dengan akurasi lebih dari 90 persen, kata mereka
Perkiraan studi tentang pertumbuhan 8,1 persen pada tahun 2021 sejalan dengan angka yang dikemukakan oleh Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Lestari Ningsih
Editor: Lestari Ningsih
Tag Terkait: