Setidaknya 38 pengunjuk rasa tewas oleh pihak militer Myanmar pada Rabu (3/3). Menurut utusan PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener itu menandai hari paling berdarah sejak militer merebut kekuasaan dalam kudeta bulan lalu.
Demonstrasi damai telah berlangsung di kota-kota di seluruh negara Asia Tenggara itu sejak pemimpin de facto, Aung San Suu Kyi dan anggota lain dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) ditahan oleh militer pada 1 Februari.
Gerakan protes kemudian tumbuh dan junta militer yang menamakan dirinya Dewan Administrasi Negara telah menjadi semakin keras dalam meresponsnya karena pemutusan internet, ancaman, dan penangkapan massal selama berminggu-minggu tidak menghentikan ribuan orang untuk menyuarakan sikap oposisi mereka.
Schraner Burgener mengatakan dia yakin junta Myanmar "sangat terkejut" dengan aksi protes menentang kudeta.
"Saat ini, kami memiliki anak muda yang hidup dalam kebebasan selama 10 tahun. Mereka memiliki media sosial dan mereka terorganisir dengan baik dan sangat bertekad," kata Schraner Burgener kepada wartawan di New York.
Menurut Burgener, polisi dan pasukan keamanan di Myanmar sekarang menggunakan amunisi langsung terhadap pengunjuk rasa. Sejak 1 Februari, lebih dari 50 orang telah terbunuh di sana dan lebih dari 1.200 lainnya-beberapa di antaranya masih belum ditemukan-telah ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang, sebagian besar tanpa proses hukum apa pun.
Minggu sebelumnya adalah hari paling mematikan di Myanmar sejak kudeta tak berdarah. Menurut Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, pihak berwenang menghadapi pengunjuk rasa damai di beberapa lokasi di seluruh Myanmar dan menembakkan peluru langsung ke kerumunan, menewaskan sedikitnya 18 orang dan melukai lebih dari 30 lainnya, mengutip informasi yang dapat dipercaya.
Schraner Burgener mengatakan dia telah melakukan percakapan dalam beberapa pekan terakhir dengan wakil panglima angkatan bersenjata Myanmar, Wakil Jenderal Senior Soe Win, untuk memperingatkannya bahwa militer kemungkinan akan menghadapi tindakan keras dari beberapa negara, tapi jawaban militer 'ndablek'.
"Jawabannya adalah: 'Kami terbiasa dengan sanksi, dan kami selamat,'" katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat