Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pengamat: Resikonya Terlalu Besar jika Pemerintah Sahkan Demokrat Versi KLB Moeldoko

Pengamat: Resikonya Terlalu Besar jika Pemerintah Sahkan Demokrat Versi KLB Moeldoko Moeldoko menyampaikan pidato perdana saat Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di The Hill Hotel Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat (5/3/2021). Berdasarkan hasil KLB, Moeldoko terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat periode 2021-2025. | Kredit Foto: Antara/Endi Ahmad

Ia mengingatkan masyarakat sudah lelah dan mulai gelisah dengan kesulitan ekonomi yang mereka hadapi. "Jika krisis kesehatan dan ekonomi ini terus berlarut akibat fokus pemerintah pecah, bukan tidak mungkin kegelisahan masyarakat ini akan terekspresikan tak terkendali."

Pendiri LSM Lingkar Madani Ray Rangkuti mengingatkan bahwa pencaplokan Partai Demokrat bukanlah termasuk agenda pemerintah. "Ini jelas agenda pribadi Kepala KSP Moeldoko, meskipun saya bertanya-tanya kenapa dibiarkan," kata Ray.

 "Tidak menguntungkan bagi Pemerintah untuk mengesahkan KLB ilegal yang beresiko menimbulkan gejolak politik, padahal ini tidak lebih dari ambisi pribadi salah satu pembantu Presiden." Ujar Ray.

Ray, yang juga aktivis senior, menduga Moeldoko salah kalkulasi karena terbuai oleh janji-janji manis makelar-makelar politik yang membujuknya. "Orang seperti pak Moeldoko sudah terlalu terbiasa bekerja pada tataran strategis sehingga luput atau tidak sempat mengecek pelaksanaannya di lapangan. Inilah yang jadi ladang subur bagi para makelar politik untuk mengumbar janji guna mencari pendanaan, lalu membuat laporan Asal Bapak Senang," tutur Ray.

Pola makelar politik ini cukup sering terjadi dalam perpolitikan di Indonesia.

Secara terpisah, Ubedilah dan Ray menyarankan agar Pemerintah konsisten menggunakan dasar hukum yang obyektif untuk memutuskan perkara ini, untuk menjaga kepastian hukum dan kestabilan politik.

Keduanya mengingatkan kasus ini cukup banyak diberitakan media massa internasional dengan istilah take over (pengambilalihan) yang berimplikasi pada persepsi negatif terhadap pemerintah. Apalagi jika dikaitkan dengan peringatan lembaga-lembaga maupun peneliti internasional tentang kemunduran demokrasi di Indonesia. Padahal ada keterkaitan erat antara kualitas demokrasi dan iklim investasi.

Baik Ubedilah maupun Ray sepakat jika Pemerintah salah mengambil keputusan, secara rasional, resiko yang bakal ditanggung pemerintah baik di sisi politik maupun ekonomi, terlalu besar ketimbang keuntungan politik yang hanya berlaku bagi salah satu pejabatnya saja.

"Apalagi ini era yang sangat terbuka, dan bisa menjadi preseden buruk dikemudian hari," pungkas Ubedilah.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: