Ekonomi Bangkit, Tapi Banyak Supermarket Gulung Tikar: Kata dan Fakta Suka Berlawanan
Saat angka Corona melandai, pemerintah berulang kali memberikan sinyal ekonomi mulai bangkit. Pemerintah juga berani mematok angka pertumbuhan ekonomi tahun ini ada di kisaran 5 persen. Tapi, ada fakta lain yang meragukan kebangkitan ekonomi ini. Dalam sebulan terakhir, banyak supermarket yang gulung tikar.
Salah satu supermarket yang terpaksa gulung tikar karena sepi pembeli dialami Giant Pamulang Square, yang berlokasi di Tangerang Selatan. Sejak Sabtu (3/4), gerai yang menyediakan produk kebutuhan sehari-hari ini, resmi menghentikan operasinya. Informasi penutupan berawal dari akun resmi Facebook Giant Ekstra Pamulang, yang menuliskan undangan perpisahan kepada karyawan yang sudah bekerja sejak 2008.
Baca Juga: Sambut Ramadan, Supermarket Giant Diskon 70 Persen
“Kami mohon maaf apabila pernah ada kesalahan serta pelayanan yang kurang baik selama kami berdiri. Semoga kesuksesan selalu menyertai kita semua, mohon maaf lahir batin,” tulis akun tersebut. Saat dikunjungi kemarin, pintu depan gerai sudah ditutup dengan rolling door. Yang tersisa hanya poster bertulis “Obral Besar” dan “Semua Harus Terjual Habis” tertempel di pintu depan.
Gelombang penutupan gerai Giant sudah dimulai sejak dua bulan lalu. Satu per satu, gerai tutup lapak. Dimulai di Giant Kalibata (Jakarta), lalu bergeser ke Giant Margocity (Depok). Sebelumnya, Giant sudah melakukan perampingan dengan menutup 6 gerai secara nasional. Keenam gerai itu ada di Cinere Mall, Mampang, Pondok Timur, Jatimakmur, Cibubur, dan Wisma Asri. Dengan bertambahnya 3 gerai tutup di tahun ini, kini Giant hanya mengelola 116 gerai secara nasional.
Direktur Hero Supermarket, Hadrianus Wahyu Trikusumo mengatakan, penutupan beberapa toko itu merupakan proses transformasi bisnis perseroan untuk memastikan dapat bersaing secara efektif. Pasalnya, ritel makanan telah mengalami peningkatan persaingan dalam beberapa tahun terakhir.
Selain itu, kinerja bisnis secara keseluruhan sangat terpengaruh pandemi. “Beragam pembatasan telah mempengaruhi operasional toko kami dan pelanggan telah mengubah perilaku belanja serta pola permintaan produk mereka,” kata Hadrianus.
Selama pandemi berlangsung, bisnis ritel di berbagai daerah memang paling banyak terkena dampak. Kebijakan pemerintah untuk mengendalikan penyebaran Corona melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bikin pengusaha ritel kelimpungan. Belum lagi adanya pembatasan jam operasional, membuat bisnis ritel makin terpuruk.
Kondisi ini makin diperparah dengan daya beli masyarakat yang terus menurun. Sementara biaya operasional yang harus dikeluarkan tetap tinggi. Akibatnya, sejumlah ritel membukukan rapor merah sepanjang 2020.
Tak hanya Giant yang kelimpungan. Matahari Departement Store juga merasakan dampak pandemi. Sepanjang tahu lalu, Matahari menutup 25 gerai. Beberapa di antaranya di Lippo PLZ Mal Yogja, Lippo Mal Kuta, Keboen Raya BGR, Lippo PLZ Mal Gresik, Mayofield TC KWG, dan GTC TC Makassar. Tahun ini, manajemen berencana menutup enam gerai lagi. Enam gerai tersebut bagian dari 23 gerai yang masuk dalam pengawasan kinerja. Secara total, Matahari Department Store memiliki 147 gerai hingga akhir 2020.
Pusat perbelanjaan Golden Truly yang berlokasi di Jalan Gunung Sahari nomor 59, Jakarta bahkan sudah lebih dulu tutup sejak 1 Desember tahun lalu. Demi mengurangi biaya operasional, manajemen mengubah model bisnisnya menjadi serba daring (online). Manajemen Centro Department Store juga dikabarkan menutup dua gerainya baru-baru ini. Pertama, gerai yang berada di Plaza Ambarukmo. Jaringan ritel ini tutup setelah melayani masyarakat Yogyakarta selama 15 tahun sejak Plaza Ambarrukmo berdiri. Kedua, Centro Department Bintaro Xchange, Tangerang Selatan, Banten, juga dikabarkan tutup.
Paling menggemparkan adalah penutupan gerai Ramayana yang diwarnai tangis karyawan di gerai Depok beberapa waktu lalu. Ramayana dilaporkan menutup sementara 13 gerai karena penurunan penjualan akibat pandemi Covid-19. Aksi ini dilakukan sejak akhir Maret 2020.
Sekjen Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, Solihin mengatakan, maraknya penutupan ritel karena memang rendahnya pengunjung mal. Masih banyak orang yang takut pergi ke mal. Meski sudah ada aturan pembatasan sebanyak 50 persen, namun nyatanya jumlah kunjungan sudah di bawah itu. Akibatnya, transaksi kian sedikit dan banyak yang tidak mampu membayar biaya sewa.
Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah mengatakan peritel besar memang kesusahan untuk bertahan di masa pandemi. Sehingga banyak yang menutup gerai karena mahalnya biaya operasional.
Budi menjelaskan, cash flow pelaku ritel tidak lagi seperti sebelum pandemi. Pemasukan tidak bisa didapat setiap hari, hanya hari-hari tertentu ada pembelian. Sehingga pendapatannya menurun 50 sampai 80 persen. Hal ini membuat strategi jangka pendek berantakan. Makanya dibutuhkan bantuan likuiditas dari pemerintah.
Budi berharap tahun ini kepercayaan konsumen juga meningkat dari adanya vaksinasi, sehingga peritel bisa melakukan investasi.
“Tapi Peritel belum berani ambil ancang-ancang untuk menambah stok barang,” ujarnya.
Masih lemahnya daya beli masyarakat ini berbeda dengan kabar yang disampaikan para pejabat. Sebulan terakhir, Presiden Jokowi, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengabarkan soal ekonomi yang mulai bangkit. Sri Mulyani mengaku optimis pertumbuhan ekonomi di kuartal I/2021 di kisaran negatif -1 persen sampai -0,1 persen.
Ekonom Universitas Indonesia, Ninasapti Triaswati megatakan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintah dalam memulihkan ekonomi. Kata dia, salah satu kendala yang dihadapi adalah lemahnya konsumsi dan investasi.
Tahun ini banyak stimulus yang diguyur, kenapa belum cukup mendongkrak konsumsi? Menurut dia, membangun UMKM jadi kunci pemulihan ekonomi. Berbagai stimulus harus benar-benar dilakukan, misalnya kemudahan pembiayaan, digitalisasi serta pendampingan dan market.
“Ini PR yang harus dikerjakan sekarang. Karena orang belum benar-benar belanja,” kata Ninasapti.
Ekonom Indef, Bhima Yudhistira menilai, pemerintah memang terlalu optimis dalam memberikan kabar pemulihan ekonomi. Menurut dia, Indonesia baru akan keluar dari resesi pada kuartal kedua tahun ini.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Alfi Dinilhaq
Tag Terkait: