Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

KOL Stories x Raymond Bonakapvi: IHSG Crash, Apakah saatnya Jual Saham?

KOL Stories x Raymond Bonakapvi: IHSG Crash, Apakah saatnya Jual Saham? Raymond Bonakapvi | Kredit Foto: Instagram/Raymond Bonakapvi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kondisi perekonomian di Tanah Air diperkirakan masih akan tertekan oleh pandemi Covid-19 yang mulai menyengat sejak Maret 2020. Ada beberapa catatan yang membuat ekonomi di Indonesia masih belum akan pulih sepenuhnya.

Hal tersebut pun akan memengaruhi kondisi pasar modal di Indonesia. Pasalnya, dengan kondisi ekonomi yang masih tertekan, pasar modal pun diprediksi masih akan terkonsolidasi. Saat ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali ke level 5.900-an.

Baca Juga: KOL Stories x Benzvirya: Pasar Saham Sepi, Mesti Gimana Ya?

Ada dua faktor yang menekan kondisi ekonomi di dalam negeri yang belum cukup mendorong optimisme pelaku pasar. Pertama, perekonomian menengah-bawah yang belum membaik terindikasi oleh data penyaluran kredit bank yang masih rendah (Bank Indonesia mencatat -2,15% pada Februari) dan aktivitas di pasar-pasar tradisional yang belum menggeliat.

Indikasi itu makin menguatkan prediksi bahwa aktivitas ekonomi sepanjang bulan puasa belum akan meningkat tajam seperti harapan pelaku pasar. Padahal, laju aktivitas ekonomi pada bulan puasa adalah indikator utama yang umum dijadikan referensi aktivitas ekonomi hingga akhir tahun.

Kedua, percepatan sebaran vaksin diharapkan dapat berjalan lancar. Dengan rata-rata vaksin per hari sekitar 40.000 orang sat ini, diprediksi jumlah penerima vaksin dalam enam bulan ke depan berada pada kisaran angka 7,2 juta orang, masih sangat rendah dibandingkan dengan target seluruh penduduk yang berada pada angka 260 juta jiwa.

Lalu, di kala kondisi seperti ini, apa yang sebaiknya dilakukan oleh para pelaku pasar? Apa saham yang masih bisa menjadi pilihan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Warta Ekonomi melalui program KOL Stories mengundang Founder of Bonakapvi.com sekaligus investor saham, Raymond Bonakapvi.

Di kondisi pasar modal seperti saat ini, apa yang sebaiknya dilakukan para pelaku pasar?

Berdasarkan dengan apa yang saya lihat, sepertinya sebagian besar investor di Indonesia masih ragu-ragu untuk invest, masih menunggu kapan saatnya crash. Sama seperti saat bulan Januari yang turun hingga 10 persen dalam waktu seminggu, itukan sebenarnya bisa dibilang sebagai koreksi harga saham. Namun, banyak juga yang hanya bisa menunggu crash yang lebih besar lagi. Akhirnya, siklusnya seperti itu saja terus, jadi tidak akan pernah mulai invest karena menunggu kapan saatnya crash.

Jika punya pemikiran seperti itu, ada dua opsi yang bisa dilakukan, yaitu kita bisa invest sekarang dan tidak usah perdulikan market yang akan crash, atau kita tidak invest sekarang sembari menunggu market crash.

Untuk opsi pertama, saham yang paling bagus kita beli adalah saham yang "masih murah". Karena nanti jika market akan mengalami crash atau koreksi, berarti saham yang akan mengalami penurunan hingga 30 persen–50 persen adalah saham yang mahal atau overvalue, sedangkan untuk saham yang masih murah akan tetap turun. Maka dari itu, ada baiknya kita cari saham yang bagus, berkualitas, dan murah.

Opsi kedua berarti kita sama sekali tidak invest untuk menunggu market crash, bukan? Nah, opsi ini agak tricky karena untuk menunggu market crash, kita harus benar-benar cepat. Karena kenyataannya, saat bulan Maret 2020 kemarin, banyak orang yang hanya diam saat crash besar-besaran hingga 30 persen. Akhirnya, orang tidak ada yang invest. Begitu market mulai membaik, banyak orang yang menyesalinya.

Dalam menentukan valuasi, apa yang sebaiknya dilakukan oleh para investor?

Sebenarnya ada banyak metode untuk melakukan valuasi. Ada yang disebut dengan P/E ratio, jadi kita membandingkan price dengan earning. Kemudian ada juga Price to Book Value (PBV), artinya membandingkan price dengan ekuitasnya.

Ada juga yang lebih sulit, tetapi bisa menentukan return investasi yang akurat, yaitu discounted cash flow atau discounted dividend model, DCF, atau DDM, dan ini merupakan metode valuasi yang lebih komprehensif, jadi tidak hanya melihat angka saja.

Apa saja sektor saham yang masih bisa menjadi pilihan investor di masa pandemi ini?

Sekarang ini, sektor yang masih bisa berkembang itu tidak banyak. Namun, ada beberapa yang masih bisa berkembang. Sektor ini tidak jauh dari apa yang kita konsumsi sehari-hari. Contoh, makanan dan minuman, obat-obatan, dan sebagainya. Sektor seperti itu di saat tidak ada pandemi sekalipun akan tetap bisa bertumbuh. Maka dari itu, saya pribadi merekomendasikan sektor consumer goods karena setiap orang pasti akan butuh dan belanja kebutuhan sehari-hari.

Kalau mau invest sekarang, ada baiknya bisa mulai dari saham di sektor consumer goods, lihat saham yang masih berkembang dan harganya cukup murah. Kedua, saya juga merekomendasikan saham di sektor komoditas. Jadi, komoditas ini terbilang agak sulit sehingga tidak semua orang mengerti cara kerjanya.

Saat komoditas ini booming, harga barang seperti batu bara, minyak bumi, dan logam itu menjadi murah karena suplainya banyak sehingga market-nya menjadi turun. Saat ini, kondisi di sektor komoditas sedang berada di paling bawah bergerak menuju ke atas. Maka dari itu, komoditas masih menjadi pilihan, terutama komoditas logam mulia dan batu bara.

Kemudian secara spesifik, saham apa saja yang bisa dilirik investor dalam jangka pendek, menengah dan panjang?

Untuk jangka pendek, lebih baik fokus ke saham consumer goods. Memang untuk jangka pendek tidak banyak yang bisa survive di masa pandemi. Untuk jangka menengah, bisa pilih komoditas seperti batu bara dan logam. Untuk jangka panjang, pasti teknologi akan memimpin.

Misalnya, bandingkan antara Amazon di tahun '98 dengan Amazon di zaman sekarang, pasti uang kita akan bertambah berkali-kali lipat, bukan? Kita pasti punya keyakinan bahwa suatu perusahaan akan menjadi besar di beberapa tahun mendatang. Masalahnya, untuk perusahaan yang berkecimpung di dunia teknologi itu, kompetisinya sangat ketat; bisa dibilang akan banyak "bakar uang".

Karena lingkungannya seperti itu dan tetap ingin invest di perusahaan teknologi, kita harus invest di perusahaan yang berbeda. Kesempatan kita untuk mendapatkan perusahaan yang berhasil akan lebih besar daripada hanya invest di satu perusahaan teknologi saja.

Di beberapa bulan belakangan, ada banyak nilai saham bank yang meningkat pesat karena adanya sentimen bank digital. Nah, kembali lagi yang dinamakan perusahaan teknologi harus punya keunggulan. Maka dari itu, kemungkinan akan ada banyak bank digital yang gagal dan sejumlah kecil bank yang survive. Jika kita berani bayar mahal untuk bank itu, kita harus hitung risk dan reward-nya, apakah sepadan atau tidak.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Patrick Trusto Jati Wibowo
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: