Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tips Membeli Kebun Kelapa Sawit Ini di Era Penerapan B30

Tips Membeli Kebun Kelapa Sawit Ini di Era Penerapan B30 Petani merawat bibit kelapa sawit di Desa Bunde, Kecamatan Sampaga, Mamuju, Sulawesi Barat, Kamis (8/4/2021). Permintaan bibit kelapa sawit yang dijual Rp15.000 hingga Rp23.000 per pohon tersebut meningkat selama musim penghujan tahun ini. | Kredit Foto: Antara/Akbar Tado
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kelapa sawit sudah menjadi isu sentral, terkhusus setelah diberlaukannya B-30 (blending 30% minyak sawit dengan 70% solar). Dampaknya adalah sangat mempesona, harga CPO (minyak sawit mentah) dunia melambung tinggi (tertinggi pada periode 20 tahun terakhir). Tidak ada teori lain mengapa harga CPO sampai melambung tinggi kecuali hanya satu ‘serapan domestik CPO adalah control harga CPO dunia’.

Harga TBS Petani sawit yang mengelola 42% Perkebunan sawit Indonesia pun terdampak positif. Dua kali penghujung bulan Ramadhan pun berbuah senyum bagi petani sawit di 22 Provinsi Perwakilan APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia).

Akibat melambungnya harga CPO tentu berdampak naiknya harga semua bahan makanan dan energi baru terbarukan (EBT), mulai dari kosmetik, makanan, obat-obatan, industri pewarna, biodiesel, dan ribuan material kebutuhan manusia yang berbahan baku minyak sawit lainnya.

Petani sawit yang 42% pengelola perkebunan sawit di Indonesia patut mendapat bintang lima, mengapa? Ya karena produk Biodiesel (B30) adalah sumbangsih maha karya dari petani sawit, sekalipun harga CPO melambung tinggi namun harga Biodisel di SPBU tetap stabil, ini dikarenakan sumbangan Petani sawit melalui Pungutan Eksport (PE) 255 USD per ton CPO tujuan eksport, yang di pungut-kelola oleh BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, di bawah kendali Kementerian Keuangan).

Semakin melambung harga CPO dunia maka sumbangan Petani yang dipungut (PE) oleh BPDPKS akan semakin naik (progresif). Bagi kami pungutan ini adalah cara kami petani sawit berguna untuk negara yaitu NKRI. Perlu dicatat bahwa PE ini bukan pajak, bukan APBN, tapi lebih tepat disebut sumbangan yang dikelola oleh BPDPKS, berbeda dengan Bea Keluar (BK) CPO yang disetor ke negara (pajak).  

Jika menggunakan harga patokan CPO dunia, maka harga Biodisel (biosolar) di SPBU bisa pada angka Rp. 10.600/liter atau lebih, karena faktanya harga CPO (minyak mentah sawit) pada dua tahun terakhir jauh diatas minyak bumi. Maka dengan Pungutan Ekspor tadi masyarakat Indonesia cukup membayar Rp.5.150/liter Biosolar di SPBU, kren kan?. Bauran (blending) minyak sawit dengan minyak solar murni ini adalah pilihan matematis berwarna merah putih, itu adalah fakta, bukan hoaks, dan petani sawit menyumbang 42% untuk bauran tersebut, semakin terpesona kepada petani sawit Indonesia.

Kami petani sudah melakukan perhitungan dan pembanding. Setelah Presiden Jokowi meresmikan Mandatori B30 berlaku per Januari 2020, harga TBS praktis naik terus (di atas Rp.1.900/kg), ya benar kami memang menyumbang melalui PE, harga TBS kami berkurang rerata Rp.363/Kg TBS tiap pungutan ekspor 255 USD tersebut dan ini yang kami sebut give, tapi kami Petani menerima (take atau receive) kenaikan (sebagai dampak) harga TBS Rp. Rp.1.755/kg (harga TBS saat ini Rp.2.555 dimana sebelum B30 harga TBS Rp.800/kg), jadi kami masih untung Rp. 1.392/kg, dan ini lah yang kami sebut take. loh kok bisa? Ya karena sebelum Mandatori B-30, harga TBS kami hanya berputar diangka Rp. 800-1.200/kg TBS.

Tapi saat ini (periode minggu ke dua Mei 2021) harga TBS berkisar Rp.2.250-2.555/kg, karena teori serapan domestic CPO tadi, harga TBS terjaga. Selain untuk bauran B30 tadi (serapan domestic), sebagian dari take kami tadi (Rp.363/kg TBS) kami sumbang untuk riset, peningkatan SDM, Sarpras, beasiswa anak-anak petani buruh tani serta pemerhati sawit Indonesia melalui BPDPKS, terimakasih BPDPKS untuk visi dan misinya.

Namun timbul gejolak : Karena ingin disebut sebagai Petani Sawit Terpesona dan tergiur dengan kenaikan harga TBS tadi, membuat masyarakat Indonesia banyak gelap mata membeli kebun sawit atau tanah kosong untuk dijadikan kebun sawit dan sedihnya kebanyakan berujung terperosok (bukan terpesona), sebagian ke rumah sakit dan sebagian lagi ke aparat hukum. Mengapa demikian ? karena kebun atau tanah yang dibeli tersebut bukan panen TBS tapi panen masalah.

Nah untuk itu, jika ingin membeli kebun sawit atau membeli lahan untuk dijadikan kebun sawit, dan supaya menjadi Petani yang Terpesona penyumbang PE, harus memperhatikan hal-hal berikut ini.

I. Jika ingin membeli kebun sawit, kaji-teliti:

1. Konflik vertikal 

yaitu Status Kawasan kebun sawit tersebut, apakah Kawasan hutan atau tidak (non-kawasan hutan). Konflik Vertikal ini adalah konflik dengan negara sebagai pemangku Kawasan hutan. Untuk mengetahuinya mudah sekali, dengan mendowload aplikasi pintar GPS di hp android yang saat ini sangat banyak, semisal aplikasi Avenza. Atau bisa berkordinasi ke Dinas Kehutanan/Perkebunan setempat atau bisa langsung menghubungi perwakilan DPD APKASINDO yang tersebar di 144 Kabupaten Kota di 22 DPW Provinsi APKASINDO, kami siap membantu. Memang saat ini sudah terakomodir untuk sawit dalam Kawasan hutan atas dasar keterlanjuran, di didenda melalui PP UUCK (UU Omnibuslaw), namun tetap saja menambah biaya karena harus kena denda sekian rupiah per hektar (jika penanaman sebelum Oktober 2020).

2. Konflik horizontal

Konflik Horizontal ini adalah konflik antara petani dengan petani, petani dengan masyarakat adat, dan petani dengan pemegang izin konsesi/HGU/HPH. Konflik horizontal ini lebih pelik dan ribet dibanding dengan konflik Vertikal apalagi dengan konflik pemegang izin konsesi HGU atau HPH. Untuk mensiasati jangan sampai kejadian membeli kebun yang berkonflik horizontal ini sebaiknya beratanya ke aparat desa atau tetangga kebun yang akan dibeli. Dan untuk menghindari konflik dengan pemegang konsesi harus bertanya ke Dinas Perkebunan atau Kehutanan, jangan bertanya ke tetangga kebun, sebab jawabannya akan selalu bias (mencari teman sependeritaan).

3. Cek lokasi kebun ke akses jalan umum

Kebun yang berlokasi jauh dipedalaman cenderung menambah biaya. Seperti biaya pembuatan jalan, perawatan jalan dan Apalagi jika harus melewati jalan perkampungan, ini akan lain lagi ceritanya.

4. Jarak kebun dengan PKS

PKS (pabrik kelapa sawit) adalah tujuan dari kita berkebun sawit. Jika jarak kebun ke PKS jauh (melebihi 10-20 km) maka akan menambah biaya produksi yang cukup lumayan. Idealnya ongkos memindahkan TBS sampai ke PKS maksimum Rp. 150/kg TBS.

5. Surat kepemilikan kebun

Surat tanah ditengah masyarakat seperti SKGR (surat keterangan ganti rugi) atau SKT (surat keterangan tanah), kedua surat ini adalah syah karena diteken para sempadan tanah dan diketahui/diverifikasi oleh aparat desa/kelurahan melalui tanda tangan masing-masing. Alangkah lebih baik memang jika sudah sertifikat hak milik. Yang perlu diperhatikan di SKT dan SKGR adalah letak posisi tanah, karena dengan keterbatasan aparat desa/kelurahan mengenai teknik perpetaan maka sering terjadi salah meletak posisi tanah.

6. Luasan tanah yang dibeli

Idealnya jika kita berkebun sawit dengan tujuan menambah penghasilan atau tabungan masa tua/pensiun kelak dan kita tidak tinggal diseputaran kebun, idealnya luas yang dibeli adalah 6-25 hektar. Namun jika kita mengerjakan sendiri kebun yang kita beli tersebut, luasan 4 ha sudah cukuplah, dengan asumsi penghasilan bersih 1,2 juta/ha/bulan (jika memenuhi kriteria GAP, good agricultural practices).

7. Asal dan jenis bibit sawit yang sudah tertanam

Untuk memastikan sumber bibit sawit memang hal yang rumit karena pemilik kebun yang akan dibeli tersebut pasti berdalih ASLI. Jika pemilik kebun masih memiliki sertifikat sumber bibit/kecambah, maka dapat menghubungi produsen bahan tanaman tersebut, semisal PPKS Medan, Damimas atau dapat menghubungi perwakilan APKSINDO setempat untuk memastikan kebenarannya. Bagaimana jika samasekali tidak memiliki dokumen sertifikat bibit? Nah jika tanamannya sudah berumur panen (TM=Tanaman Menghasilkan), maka dapat dilihat dari brondolan TBS, jika daging buahnya tebal dan cangkangnya kecil (jenis Tenera) maka dapat di indikasikan pohon sawit nya adalah hasil persilangan DxP (hybrid, berasal dari produsen bahan tanaman resmi). Cara pengambilan brondolan ini harus diambil secara acak, minimum sampel brondolan yang diambil hasilnya 80% jenis Tenera (DxP). Misalnya jika 2 Ha (260 batang), maka Brondolan yang diambil harus 25% dari total populasi (65 pohon).  Bibit yang tidak hybrid, hasil panennya sekitar 30% dari produksi normal selama 25 tahun masa produktif sawit.

8. Aspek agronomis

Kebun yang akan kita beli harus kita perhatikan juga aspek perawatan kebun oleh pemilik sebelumnya. Pernahkah dipupuk, ditunas, jarak tanam, populasi tanaman per hektar, badan jalan panen dan batas sempadan. Yang perlu disoroti adalah jarak tanam, banyak yang mengasumsikan semakin banyak populasi per hektar maka semakin banyak hasilnya. Hal ini salah dan fatal. Pada umumnya jarak tanam kelapa sawit adalah 8x9m atau 9x9 m, namun dengan menggunakan metode tertentu dapat juga 7,8 x 9m. Jika kecil dari jarak tanam ini sebaiknya jangan dibeli, sekalipun bibitnya hybrid (DxP), dengan jarak tanam yang terlampau sempit maka tidak akan pernah menghasilkan panen yang optimum.  Populasi per hektar nya juga harus juga kita cermati. Kadang-kadang luas kebun 10 ha, namun populasinya hanya setara dengan luasan 6 hektar, karena sawitnya banyak yang mati atau rusak, sementara ketika membeli kebun tersebut yang dihitung luasnya tetap 10 hektar. 

II. Jika membeli tanah Kosong 

Jika kita ingin membeli tanah kosong, cukup memperhatikan poin I.1 sampai poin I.6. jangan pernah terkecoh, harus ikuti prosedur 1-6 tersebut jika tidak ingin bermasalah kedepannya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Lestari Ningsih

Bagikan Artikel: