Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Biden Ajak Negara-negara G7 Bareng-bareng Gebuk China, Kenapa?

Biden Ajak Negara-negara G7 Bareng-bareng Gebuk China, Kenapa? Kredit Foto: Instagram/Joe Biden
Warta Ekonomi, Washington -

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menjadi motor utama berbagai pembahasan tentang rencana G7 menghadapi China. Dia membujuk para pemimpin negara di organisasi itu untuk bersatu menyikapi berbagai isu. Antara lain, dalam menghadapi kebi­jakan ekonomi Negeri Tirai bambu. Dan, pelanggaran HAM terhadap muslim Uighur.

Kendati demikian, hingga kemarin, G7 belum satu suara. Kelompok itu terbelah. Kanada, Inggris, dan Prancis mendukung ide Biden. Sedangkan Jerman, Italia, dan Uni Eropa, masih terlihat ragu.

Baca Juga: Begini Ucapan Selamat Joe Biden untuk Pengganti Benjamin Netanyahu di Israel

Kesepatakan bersama yang merangkum komitmen para negara anggota, baru akan diu­mumkan pada akhir Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 di Carbis Bay, Cornwall, Inggris.

Yakni pada Minggu malam (13/6/2021) waktu setempat atau Senin dini hari (14/6/2021) Waktu Indonesia Barat (WIB). Sejumlah pejabat AS yakin, China bisa dimintai pertanggungjawaban terkait kebijakan ekonomi serta dugaan pelanggaran HAM.

Pada lawatan luar negeri per­tamanya sejak menjabat seba­gai presiden, Biden membuat sejumlah kesepakatan dengan para pemimpin dari negara ang­gota G7. Biden tampak berusaha mencoba menghapus pandangan negatif yang kerap diarahkan pa­da AS sewaktu masih dipimpin Presiden Donald Trump.

Salah satu yang mencapai kesepakatan dengan Biden, yakni Presiden Prancis Emmanuel Macron. Dalam kesepakatan di antara keduanya, Macron memberi tahu Biden, bahwa kolaborasi diperlukan dalam berbagai masalah. Dia juga bilang, sangat menyenangkan bisa berada dalam organisasi, dimana anggotanya bisa diajak bekerja sama.

Sementara, Kanselir Jerman Angela Merkel, justru bersikap kontra dalam beberapa hal. Yakni terkait dengan China, dan soal pipa Nord Stream 2 yang akan mengangkut gas alam dari Rusia ke Jerman, melewati Ukraina.

Kendati demikian, secara umum situasi di KTT G7 cukup kondusif. Seorang sumber me­nyebut, tiap negara anggota bersifat kooperatif. Terutama yang terkait dengan kepentingan bersama. Ada diskusi yang sangat bagus, konstruktif, dan sangat hidup.

“Dalam arti, bahwa seseorang ingin bekerja sama,” beber sum­ber itu, dilansir Channel News Asia, kemarin.

Pejabat Gedung Putih mengatakan, Biden ingin para pemimpin negara-negara G7, yak­ni AS, Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Jepang, dan Italia, satu suara. Yakni menentang praktik kerja paksa yang menargetkan Muslim Uighur China dan etnis minoritas lainnya.

Biden berharap, kecaman itu akan menjadi bagian dari pernyataan bersama yang akan dirilis Minggu ketika KTT be­rakhir. Namun, beberapa sekutu AS masih enggan untuk berpisah dengan Beijing.

Selain itu, G7 juga diminta mengambil langkah pertama dalam mengajukan proposal infrastruktur yang disebut “Bangun Kembali Lebih Baik untuk Dunia”. Slogan kampanye yang digemakan Biden. Rencana tersebut menyerukan pengeluaran ratusan miliar dolar untuk bekerja sama dengan sektor swasta sambil mematuhi standar iklim dan praktik perburuhan.

Itu dirancang untuk bersaing dengan “Inisiatif Sabuk dan Jalan” senilai triliunan dolar China. Yang telah meluncurkan jaringan proyek dan jalur maritim di sebagian besar dunia. Terutama Asia dan Afrika. Kritikus mengatakan, proyek-proyek China sering menciptakan utang besar. Dan Beijing memanfaatkannya untuk mem­perluas pengaruhnya.

Senada dengan AS, Inggris ju­ga ingin negara-negara demokra­si dunia tidak terlalu bergantung pada raksasa ekonomi Asia itu. Pemerintah Inggris mengatakan, bahwa diskusi pada akhir pekan lalu membahas soal rencana membentuk sistem global.

Untuk memberikan dukungan kepada warga yang mendukung nilai-nilai mereka. Rencana itu juga termasuk dengan mendiversi­fikasi rantai pasokan yang saat ini sangat bergantung pada China.

Tapi, tidak setiap negara Eropa memandang China dengan cara yang keras seperti Biden. Beberapa di antara mereka hanya memberikan tanda bahwa Eropa bersedia melakukan pengawasan yang lebih ketat.

Sebelum Biden menjabat pada Januari lalu, Komisi Eropa mengumumkan telah mencapai kesepakatan dengan Beijing. Kesepakakan untuk memberi Eropa dan China akses yang lebih besar ke pasar satu sama lain. Pemerintahan Biden ber­harap untuk berkonsultasi ten­tang pakta tersebut. Namun kesepakatan itu telah ditunda.

Dan Maret lalu, Uni Eropa mengumumkan sanksi yang menargetkan empat pejabat China yang terlibat dengan pe­langgaran hak asasi manusia di Xinjiang. Merespon hal tersebut, Beijing juga memberikan sanksi pada beberapa anggota Parlemen Eropa dan warga Eropa lain­nya yang kritis terhadap Partai Komunis China.

Pejabat pemerintahan Biden melihat peluang untuk mengam­bil tindakan nyata menentang ketergantungan China pada kerja paksa. Yang mereka anggap sebagai penghinaan terhadap martabat manusia.

Tekanan pada China, tidak akan berdampak sanksi langsung bagi Beijing. Seorang pejabat senior pemerintah AS mengata­kan, tindakan itu akan mengirim pesan, bahwa para pemimpin serius membela hak asasi ma­nusia. “Dan bekerja sama untuk memberantas kerja paksa,” kata pejabat itu.

Menurut sejumlah pengamat, diduga ada lebih dari satu juta orang, kebanyakan dari mereka berasal dari etnis Uighur, diku­rung dan dikirim ke kamp-kamp di wilayah Xinjiang barat China.

China diduga melaksanakan prak­tik kerja paksa, membatasi kela­hiran secara sistematis, melaku­kan penyiksaan dan memisahkan anak-anak dari orang tua yang dipenjara. Namun, Beijing mem­bantah tuduhan bahwa mereka melakukan kejahatan.

Di KTT kali ini, G7 juga kedatangan para pemimpin dari negara tamu. Korea Selatan, Australia dan Afrika Selatan, serta Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (Sekjen PBB).

Untuk mengintensifkan kerja sama antara negara-negara demokratis dan berteknologi maju di dunia. India juga diundang. Tapi delegasinya tidak hadir secara langsung karena wabah virus corona yang parah di negara itu. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: