Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengkhawatirkan bila pemberian penyertaan modal negara (PMN) secara terus menerus diberikan kepada BUMN, akan memberikan dampak negatif. Seiring terjadi kenaikan alokasi anggaran PMN 2022 menjadi Rp72 triliun yang semula di tahun 2021 anggaran PMN berjumlah Rp35 triliun.
“Kita perlu mengingat komitmen awal, permasalahan BUMN yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya banyak problem akibat penugasan,” ujar Abra P. G. Tallatov, Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development INDEF, pada diskusi virtual bertajuk BUMN Minta Modal Negara, Rakyat Dapat Apa?, Minggu (11/7/2021).
Baca Juga: Dana PMN untuk BUMN Capai Rp72 Triliun, INDEF Ingatkan Perlu Skala Prioritas
Abra mengklasifikasikan, BUMN terdiri dari dua jenis yakni BUMN yang 100 persen dikuasai negara dan BUMN yang berada di pasar modal, dengan kepemilikan sebagian saham berasal dari publik. BUMN jenis kedua ini sering kali dianggap lebih baik dalam hal efisiensi dan pengawasan dengan menghasilkan tata kelola yang baik. Sebab, sumber pendanaannya dilakukan secara organik melalui lembaga keuangan dan penerbitan obligasi. Artinya, hal tersebut akan meminimalisir campur tangan termasuk ketergantungan terhadap APBN.
“Ironisnya sekarang ini justru ada BUMN yang terdaftar di Pasar Modal tetapi justru masih mengharapkan bantuan dari negara. Ini yang menjadi sumber masalah,” ungkapnya.
Masalah yang dimaksud, kata Abra, ketika memberikan suntikan modal yang bersumber dari APBN kepada BUMN yang terbuka untuk publik (go public) akan menyebabkan terjadi konflik kepentingan dalam hal sumber dana.
Sumber dana tersebut setidaknya terdiri dari sumber dana internal perusahaan, dana yang dicari dari sumber eksternal atau dari public, dan sumber yang berasal dari suntikan APBN. Bercampurnya ketiga sumber dana perusahaan tersebut membuka potensi risiko akan turut mengalir kepada publik.
“Artinya itu berupa deviden, artinya deviden mendatang itu salah satu sumbernya ada dari APBN dan ini salah satu ketidakadilan,” katanya.
Kekhawatiran selanjutnya, Abra mencontohkan BNI yang yang juga diusulkan tahun depan akan mendapatkan alokasi anggaran PMN menjadikan preseden buruk. Sebab, selama 5 tahun terakhir belum ada BUMN perbankan yang mendapatkan PNM. Padahal perbankan, biasanya menjadi salah satu sektor yang paling diandalkan dan paling kokoh dalam menghadapi tekanan ekonomi.
Abra menambahkan, bila publik mengetahui ihwal BUMN yang memerlukan infus atau suntikan dana berasal dari APBN akan menimbulkan sentimen negatif publik. Sehingga masyarakat menjadi was-was dan berpotensi menjadi bumerang bagi BNI.
“Kita tidak ingin PMN ini terus menjadi sumber pendanaan akhir yang selalu diinginkan BUMN. Kalau rugi terus minta APBN,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Bethriq Kindy Arrazy
Editor: Alfi Dinilhaq