PPKM Darurat dan Sense of Crisis
Oleh: Dwi Mukti Wibowo, Pemerhati masalah ekonomi, sosial, dan kemanusiaan
Kredit Foto: Antara
Silang pendapat mengenai kemungkinan PPKM Darurat diperpanjang atau tidak, terus bergulir. Masing-masing pihak mengusulkan dengan pertimbangan dan wacananya. Namun, penetapan kebijakan masalah ini tidak terlepas dari pertimbangan dilematis, yaitu diprioritaskan antara kepentingan ekonomi dan atau kemanusiaan. Hal yang mendorong wacana perpanjangan PPKM Darurat adalah tren makin meningkatnya kasus baru Covid-19, meskipun telah ditetapkan pembatasan kegiatan masyarakat dari tanggal 3 Juli -20 Juli 2021 di wilayah Jawa dan Bali.
Menurut data Kemenkes, jika pada 3 Juli 2021 atau tanggal dimulainya PPKM, kasus penambahan baru ada sekitar 27.913 kasus (rata-rata 7 hari 23.370), pada 10 Juli 2021 kasus baru bertambah lagi menjadi 35.094 (rata-rata 7 hari 33.451). Kemudian pada 13 Juli 2021 terjadi pecah rekor kasus corona menjadi hampir 48 ribu. Pada 14 Juli 2021, terukir rekor tertinggi selama pandemi Covid-19 dengan bertambahnya kasus baru sebanyak 54.517. Dengan demikian, posisi korban Covid-19 per tanggal 15 Juli tercatat positif 2,62 juta, sembuh 2,14 juta, dan meninggal 68,219.
Baca Juga: Pemerintah Percepat Bantuan Ekonomi di Masa PPKM Darurat
Kecenderungan penambahan baru kasus Corona membuat semua pihak mulai bereaksi. Perlukah perpanjangan PPKM Darurat? Ada yang berpendapat berdasarkan pertimbangan faktor ekonomi, wacana memperpanjang PPKM akan berimplikasi buruk terhadap semua sektor. Lagipula PPKM Darurat jika akan diperpanjang harus disertai dengan revisi UU Keuangan Negara karena terkait pembatasan defisit di bawah lima persen.
Jika PPKM Darurat diperpanjang, BUMN, Perusahaan-perusahaan swasta, dan UMKM akan terguncang hebat atau collapse. Dampaknya, banyak anggota masyarakat kehilangan pekerjaan karena "dirumahkan" atau PHK besar-besaran. Mereka harus diselamatkan karena akan terimbas domino contagion effect-nya.
Sementara, yang sependapat perlunya memperpanjang PPKM Darurat tentunya setelah melihat realitas kasus ganda korban Covid-19, yaitu jumlah korban terpapar dan jumlah korban kematian yang sama-sama meningkat berlipat ganda. Selanjutnya, sebagiannya lagi berpendapat cukup waktu untuk memaksimalkan dan menggencarkan upaya vaksinansi dengan menggerakkan berbagai elemen masyarakat yang ada secara maksimal, termasuk melibatkan seluruh anggota DPR, DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II di dapil masing-masing.
Dua pendapat di atas memang dilematis. Namun, keduanya tetap saling terkait dan memengaruhi satu sama lain. Yang jelas, Juru Bicara Gugus Tugas Covid-19 Tingkat Nasional telah menegaskan bahwa Pemerintah terus-menerus melakukan evaluasi kebijakan berdasarkan perkembangan data epidemiologis yang ada. Termasuk juga, memperluas cakupan penerapan PPKM Darurat keluar wilayah Pulau Jawa Bali sesuai dengan instruksi Mendagri nomor 20 tahun 2021.
Berbagai wacana yang mengemuka ini sangat positif dan patut diapresiasi. Karena dalam situasi yang genting dan mengkhawatirkan akibat keganasan virus Corona, seluruh elemen bangsa mulai bergandengan tangan untuk sama-sama melakukan penyelamatan. Tak perlu saling menyalahkan satu sama lainnya. Yang penting, niat dan tekad disatukan langkah dan persepsinya untuk sama-sama menggaungkan pentingnya solidaritas dan membangun sense of crisis bersama agar dapat melewati masa-masa sulit akibat krisis multidimensi ini.
Apa yang dimaksud Sense of Crisis? Sense of Crisis di sini dapat diartikan sebagai kepekaan, kewaspadaan, dan kesiapsiagaan yang telah direncanakan sebaik mungkin dalam menghadapi krisis, yang dilakukan secara tangkas, tepat sasaran, dan tidak bertele-tele pada sebuah keputusan yang dilandaskan prinsip kemanusiaan dan saling menghargai. Sense of Crisis merupakan kepekaan terhadap sebuah suasana, situasi dan kondisi yang sedang dihadapi oleh seseorang, kelompok dan masyarakat, termasuk juga pemerintah dan negara.
Berbicara soal Sense of Crisis, tentu kita masih ingat tahun 2020 menjadi catatan penting bagi Indonesia. Betapa berharga dan teramat pentingnya Sense of Crisis bagi suatu negara saat itu. Wabah pandemi global Covid-19 telah berdampak pada hilangnya bisnis, pekerjaan, resesi ekonomi ketika pandemi Covid-19 telah melanda Indonesia. Dampaknya telah membuat pilu dan prihatin karena banyak yang terinfeksi dan kehilangkan nyawanya. Ditambah lagi, pandemi menimbulkan kepanikan, ketakutan, ketidaknyamanan, dan rasa tidak aman warganegara.
Kita tidak akan pernah mengulangi peristiwa itu karena tidak mempunyai cukup langkah antisipatif dan kepekaan atau Sense of Crisis yang kurang menyadari masifnya pandemi Covid-19. Artinya, kurang kuat pendirian dan keras hati dalam rangka menyikapi masifnya pandemi Covid-19. Akibatnya, dengan mudah pertahanan negara dijebol oleh pandemi Covid-19. Bukan hanya pemerintah saja yang salah, tapi masyarakat pun ikut berkontribusi terhadap krisis.
Budaya masyarakat yang kurang kuat menekankan pada pentingnya Sense of Crisis, seperti sudah terlalu terbiasa dan terlalu santai, kurang bergegas, kurang antisipatif, kurang adaptif, dan kurang inisiatif dalam menghadapi sebuah situasi krisis, menjadi penyebabnya. Naluri Sense of Crisis baru muncul ketika kejadian-kejadian akibat dari krisis sudah menimpa dan merenggut Sense of belong-nya, yaitu kehilangan anggota keluarga dan anggota masyarakatnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: