Kemitraan antara perusahaan perkebunan dengan petani kelapa sawit sendiri, merupakan pola kemitraan usaha. Dalam melaksanakan kegiatannya, maka pola kemitraan dapat dianggap sebagai pertukaran sosial, yang saling memberi (sosial rewadrs), bersifat timbal balik (dyadic) dan saling menerima (reinforcement).
Pengembangan kelembagaan kemitraan dalam sistem agribisnis, secara nyata telah berdampak positif terhadap keberhasilan pengembangaannya. Menurut Sumardjo (2009), dampak positif yang telah dihasilkan yaitu keterpaduan dalam sistem pembinaan yang saling mengisi antara materi pembinaan dengan kebutuhan riil petani.
Kelembagaan kemitraan sendiri membutuhkan pemahaman dan kesepakatan bersama antara para pelaku kemitraan dengan berbasis pada kesetaraan (equity), keterbukaan informasi (information disclosure) dan azas manfaat bersama (mutual benefit) antara pelaku kemitraan.
Kendati mendorong adanya perubahan pada praktek budidaya petani kelapa sawit Indonesia bukanlah perkara mudah. Lantaran banyak persoalan dan kesulitan yang seringkali dihadapi para petani dalam melakukan praktek budidaya kelapa sawit. Dari persoalan minimnya pengetahuan, pendanaan hingga keterbatasan tenaga yang dimilikinya.
Terkadang, petani kelapa sawit memilih jalan pintas dalam melakukan praktek budidaya perkebunan kelapa sawit. Mulai dari pembukaan lahan, dimana jalan pintas dan berbiaya murah dilakukan melalui pembakaran lahan secara masif. Alhasil, kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sering menjadi momok yang menakutkan di Indonesia. Ditambah banyaknya persoalan yang timbul kemudian.
Disisi lain, persoalan kemitraan juga seringkali disebabkan dari perusahaan perkebunan kelapa sawit, yang mengingkari kesepakatan yang sudah dibuat. Alhasil, banyak demonstrasi dan kerusuhan yang menyebabkan produksi perkebunan kelapa sawit menjadi macet dan terbengkalai di kemudian hari.
Berbagai kondisi diatas, jelas menjadikan daya saing kebun sawit milik petani seringkali bermasalah. Kendati masih banyak persoalan lainnya, namun petani kelapa sawit di Indonesia merupakan aktor penting yang patut mendapatkan dukungan besar. Lantaran, kepemilikan ahan perkebunan kelapa sawit mencapai 42% dari total luas lahan yang dikembangkan di Indonesia.
Kemitraan petani sawit juga membutuhkan dukungan BPDP-KS guna mendorong penguatan kelembagaan petani sawit selama ini. Keberadaan petani masih membutuhkan dukungan dari banyak pihak untuk membangun kelembagaan, kemitraan yang sejajar dan bantuan permodalan dari perbankan dan asosiasi seperti GAPKI dan SPKS, guna membangun kebun sawit berkelanjutan.
Dikatakan Direktur Penyaluran Dana BPDP-KS, Edi Wibowo, program BPDPKS sesuai Perpres 61 Tahun 2015 Jo. Perpres 66 Tahun 2018, diantaranya mendukung pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi/kemitraan, peremajaan, sarana dan prasarana, pemenuhan kebutuhan pangan, ilirisasi industri perkebunan kelapa sawi, penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati.
Harapannya dengan semua program itu maka bisa meningkatkan kinerja sektor sawit Indonesia, dan Menyerap kelebihan CPO di pasar dalam rangka stabiliasi harga. Hasilnya terjadi penciptaan pasar domestik, sementara bagi petani maka aka nada potensi peningkatakan kesejahteraan.
Lebih lanjut tutur Edi, untuk tujuan penyelenggaraan program kemitraan berbasis karakteristik usaha, diantaranya bisa memberikan jaminan pasar bagi Tandan Buah Segar (TBS) Sawit Pekebun swadaya, memberikan akses petani swadaya untuk memperoleh bibit dan pupuk berkualitas.
Selanjutnya, memberikan bimbingan teknis peningkatan produksi TBS, memberikan bimbingan teknis peningkatan mutu TBS Pekebun swadaya sesuai standar industri kelapa sawit, memberikan bimbingan teknis pola usaha tani/ berkebun yang baik (Good Agriculture Practices) dan berkelanjutan, dan terdapat peningkatan nilai tambah produk sawit, untuk peningkatan kesejahteraan pekebun.
Untuk Program Kemitraan untuk pemberdayaan Pekebun dalam penanganan dampak Covid-19, kata Edi, pihaknya telah melakukan seperti produksi Sabun Cair dan Hand Sanitzer mendukung upaya pencegahan Covid-19 di berbagai daerah. Lantas, produksi virgin oil dan produk turunannya sebagai makanan sehat dan personal care product yang terjangkau oleh masyarakat luas, serta pemanfaatan malam batik berbasis sawit.
“Pembuatan bahan bakar dari biomasa sawit untuk keperluan sendiri dan desa sekitar (Ketahanan energi tingkat pedesaan), dan pengelolaan lahan sawit untuk tanaman tumpang sari dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan sendiri dan desa sekitar (Ketahanan pangan tingkat pedesaan),” kata Edi dalam FGD Sawit Berkelanjutan Vol 9, bertajuk “Peran BPDPKS dalam Memperkuat Kemitraan Pekebun Kelapa Sawit Indonesia,” Kamis, 29 Juli 2021, yang diadakan media InfoSAWIT.
Program lainnya kata edi, yakni Program Kemitraan untuk Pemberdayaan Pekebun terkait Integrasi dengan Industri Hidrokarbon, serta peremajaan Sawit rakyat dalam kemitraan strategis. “Dimana Prinsip Kemitraan Strategis Model kemitraan dgn dukungan perusahaan mitra, meliputi bibit unggul bersertifikat, teknis budidaya berkelanjutan, jaminan pembelian (off taker), akses pendanaan mudah & kompetitif, kesempatan Pekebun bekerja di Koperasi dan transpatasni,” tutur Edi.
Sementara dikatakan Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Mukti Sardjono, sejatinya kemitraan pertama muncul semenjak adanya bantuan Bank Dunia, pada 1970-an dikembangkan P3RSU (UPP) dan selanjutnya dibentuk program Nucleus Estate Smallholder (NES) kemudian berlanjut dengan pengembangan proyek seri Perkebunan Inti Rakyat (PIR) kelapa sawiit.
Kata Mukti, pola kemitraan dan dasar hukum hingga saat ini yakni, Program PIR dengan perusahaan inti PTP (NES, PIR Khusus dan PIR Lokal), Pola PIR-Trans dengan Perusahaan Swasta dan BUMN sebagai inti, Pola PIR KKPA, Revitalisasi Perkebunan, Peremajaan Sawit Rakyat.
“PIR sukses mengubah komposisi luas lahan sawit yang dimiliki oleh Rakyat, dari hanya 6.175 Ha ditahun 1980 menjadi 5.958.502 Ha ditahun 2019 di Indonesia merujuk Statistik Kelapa Sawit Indonesia,” catat Mukti.
Selama ini tutur Mukti, pihaknya tetap mendukung program kemitraan, bentuk dukungan itu berupa, pembentukan SATGAS Percepatan PSR GAPKI, yangmelibatkan seluruh Cabang GAPKI, kemudian, menjadi Anggota Pokja Penguatan Data dan Peningkatan Kapasitas Pekebun – Kemenko Perekonomian.
Lantas, aktif dalam koordinasi rutin untuk percepatan PSR dengan Kantor Menko Perekonomian, Ditjenbun, BPDPKS dan lainnya. “Serta mengawal dan meng-update secara rutin Percepatan PSR anggota GAPKI melalui Rapat Pusat & Cabang GAPKI,” kata Mukti.
Tidak hanya itu, kata Mukti, GAPKI pusat maupun cabang memiliki peran masing-masing, peran GAPKI pusat diantaranya, pengikatan perjanjian kemitraan / MoU dengan petani plasma disaksikan oleh penyelenggara negara seperti, Deputi Kemenko Perekonomian, Dirut BPDP-KS, DitjenbunKetua Umum GAPKI dan Ketua Umum APKASINDO.
Teramasuk, memberikan masukan kepada Pemerintah terkait kebijakan penyederhanaan proses pengajuan dan pembiayaan PercepatanPSR, serta bekerja sama dengan Asosiasi Petani/Pekebun dalampercepatan PSR.
Untuk peran GAPKI Cabang meliputi, melakukan assessment terkait potensi lahan dan petani PSR disekitar kebun atau pabrik, melakukan pemetaan terkait potensi lahan PSR disekitar kebun atau pabrik, melakukan FGD dan sosialisasi terkait Percepatan PSR bersama dengan Pemangku Kepentingan yang ada di Propinsi, serta memberikan data Laporan Progres PSR di tiap Propinsi.
Bagi petani, pengembangan perkebunan kelapa sawit masih saja menghadapi kendala. Namun yang perlu adalah bagaimana mendorong kemitraan dengan cepat dan terukur dari manfaat kemitraan tersebut.
Dikatakan Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, secara nyata kemitraan memang sangat dibutuhkan pekebun sawit. Terlebih khusus untuk petani swadaya yakni petani yang kelola sendiri, mayoritas petani swadaya juga belum bermitra dengan perusahaan. Sedangkan pekebun plasma, umumnya sudah mempunyai orang tua asuh yakni perusahaan inti.
Persoalan yang dialami pekebun swadaya adalah produktivitas tanaman rendah. Hal ini karena banyak pekebun swadaya yang menggunakan bibit tidak sesuai (tidak unggul), SDM petani juga pengetahuannya rendah, tidak mendapat pendampingan dari pemerintah.
Termasuk anggaran dari pemerintah juga minim untuk memberikan pendampingan kepada pekebun swadaya. Kelembagaan petani juga tidak ada, sehingga menyulitkan untuk pendampingan dan kemitraan. “Banyak petani juga tidak mau berorganisasi, karena ada trauma dalam berorganisasi. “Kenapa petani tidak mau bermitra? Karena kerap petani disalahkan,” katanya.
Bahkan Darto menilai, petani kini sudah mengerti dan paham situasi. Mereka juga sudah bisa menghitung resiko keputusan bermitra atau tidak bermitra. Kadang yang dialami pekebun, harga TBS dari PKS kerap berbeda jauh dengan yang tidak bermitra. Dengan demikian, petani melihat resiko ekonomi.
Sebab itu Darto, berharap, ada kebijakan yang menjadi payung di lapangan dalam kemitraan. Perlu langkah revolusioner pemerintah untuk mengatasi masalah kemitraan. Pendataan dan pendampingan harus dilakukan.
Ungkap General Manager Bisnis Komersial 2, PT. Bank Negara Indonesia, Tbk., Aryani Dwi Satiti, pihaknya sangat mendukung industry kelapa sawit Indonesia, ini terlihat dari pembiayaan Industri Kelapa Sawit dari Upstream hingga Downstream di BNI dengan maksimum Kredit Rp 70,1 T, dengan pemakaian kredit Rp 52,4 T, dimana sekitra 88% berada pada upstream yaitu perkebunan kelapa sawit.
Lebih lanjut tutur Aryani, BNI dapat menjadi Bank utama untuk Industri kelapa sawit yang berkelanjutan dan menyediakan produk, layanan & transaksi untuk Value Chain Industri Sawit dari Upstream, Midstream, Down Stream hingga End User.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: