Kata Pengusaha Soal Model Bisnis Sirkularitas untuk Industri Tekstil & Fashion yang Berkelanjutan
Menerapkan model bisnis yang sirkular dapat menjadi salah satu solusi untuk mendukung industri tekstil yang berkelanjutan sekaligus menggerakkan sustainable fashion di Indonesia.
Presiden IBCSD Shinta W. Kamdani mengatakan, di tengah tantangan perubahan iklim saat ini, model bisnis sirkular sangat ideal untuk diterapkan oleh para pelaku usaha untuk juga ikut serta dalam menjaga kelestarian bumi.
Baca Juga: Bikin Bangga, Di Hari Kemerdekaan Brand Fashion Asal Bandung Nampang di Times Square, New York!
"Sirkularitas adalah model bisnis yang sangat ideal, bahkan suatu keharusan, untuk menjaga kelestarian Bumi. Yang bisa kita lakukan adalah terus bertransisi menuju model bisnis sirkular yang ditandai dengan 5R: reduce, reuse, recycle, refurbish, dan renew," kata Shinta dalam Dialog Nasional IBCSD, Kamis (19/8/2021).
Menurut Shinta, Indonesia memiliki potensi yang besar untuk mengedepankan konsep ekonomi sirkular. Terlebih, implementasi model bisnis sirkular di level global masih terbilang rendah, angkanya belum mencapai 9% dari total perekonomian global. Sementara itu, BAPPENAS telah meluncurkan studi mengenai potensi dan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan dari penerapan ekonomi sirkular di Indonesia yang dinilai menjanjikan.
"Sebagai contoh di sektor tekstil, penerapan ekonomi sirkular dilaporkan dapat membantu menciptakan dampak ekonomi sebesar Rp24 triliun, 200 ribu lapangan pekerjaan, mengurangi emisi sebesar 16 juta ton, dan penghematan air sebesar 1,3 miliar kubik sampai 2030," terang Shinta.
Direktur Asia Pacific Rayon (APR) Basrie Kamba, sebagai perwakilan industri hulu yang hadir sebagai penanggap dalam Dialog Nasional tersebut, menyatakan kesanggupannya untuk mendukung komitmen ekonomi sirkular dalam industri tekstil nasional.
"The whole textile industry ini akan berubah dan Indonesia memiliki potensi yang sangat besar. Seperti digambarkan juga oleh Ellen Mc Arthur Foundation dengan analisis dari McKinsey, circular economy is the new textile economy. Kami di industri paling hulu dan sepanjang supply chain saya kira sangat berkomitmen untuk gerakan ini," ujar Basrie.
Sebagai informasi, APR merupakan perusahaan penghasil serat viscose-rayon terintegrasi yang beroperasi di Pangkalan Kerinci, Provinsi Riau. Serat viscose diketahui merupakan salah satu bahan baku yang mendukung sustainable fashion karena berasal dari renewable source dan memiliki sifat biodegradable (mudah terurai).
Berdasarkan data dari berbagai sumber, Basrie mengatakan ada potensi untuk mendaur ulang buangan dari industri tekstil, mulai dari pre-consumer (buangan yang belum sampai ke consumer, berupa potongan kain perca dan sisa bahan tekstil yang tidak terpakai untuk garmen) hingga post-consumer (buangan yang sudah digunakan konsumen, misalnya pakaian jadi atau handuk yang sudah tidak dipakai) dengan perkiran mencapai 1,7 ton buangan per tahunnya.
Potongan kain dan limbah benang dapat didaur ulang menjadi serat tekstil yang dapat dipintal untuk merajut atau dijadikan benang. Hal ini dapat diterapkan pada hampir seluruh jenis serat, baik serat alami maupun buatan, termasuk kapas, poliester, dan rayon. Namun, Basrie mengakui kualitas serat berbasis daur ulang sering kali tidak dapat menggantikan serat yang diolah industri.
"Limbah pre-konsumen, yang belum dipakai konsumen, tidak gampang diolahnya. Begitu juga dengan post-konsumen yang kita pakai. Mungkin nanti, budaya membeli [produk] kita itu melihat bahan yang kita pakai itu bahan apa sehingga ini sangat-sangat challenging," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menjelaskan, pemerintah terus mendorong upaya pengembangan sustainable fashion dengan menggunakan model bisnis sirkular, terutama dalam industri TPT. Menurutnya, industri TPT merupakan sektor prioritas dalam program Making Indonesia 4.0. Apalagi, ia melihat potensi global tekstil daur ulang yang ia pandang sangat prospektif.
Ia menyampaikan, nilai daur ulang tekstil di tingkat global mencapai US$5,6 miliar pada 2019 dan diperkirakan akan mencapai US$7,6 miliar pada 2027 dengan proyeksi pertumbuhan 3,6% per tahun.
"Sejak tahun 2000, konsumsi fesyen meningkat hampir 60% tiap tahunnya. Ini berkaitan erat dengan ditetapkannya strategi bisnis fast fashion. Tren ini di sisi lain juga berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dari limbah yang dihasilkan. Tentu ini harus kita hindari mengingat industri fesyen, termasuk di dalamnya industri TPT, merupakan andalan dalam ekspor dan penyerapan tenaga kerja di Indonesia," jelasnya.
Untuk itu, pemerintah telah mengatur sustainable fashion sebagai bagian dari industri hijau dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2021 tentang penyelenggaraan bidang perindustrian.
Selain itu, pemerintah menyusun beberapa upaya untuk pengembangan industri TPT dengan model ekonomi sirkular, di antaranya penerapan industri hijau 4R, pelaksanaan bimbingan teknis pemilihan sampah plastik sebagai bahan baku industri daur ulang, penyusunan pedoman pengolahan sampah kemasan sektor industri, penyusunan kajian penerapan kemasan ramah lingkungan, serta menyiapkan implementasi proyek daur ulang pakaian bekas berupa feasibility study dan pilot project di beberapa industri.
"Tentu dalam memastikan aspek sustainability dalam proses manufaktur penerapan teknologi ini industri 4.0 dapat dilakukan dalam proses daur ulang, sourcing bahan yang ramah lingkungan, serta proses pengurangan jejak karbon," tutup Menperin.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Puri Mei Setyaningrum