Pakar energi mengingatkan proyek energi baru terbarukan (EBT) akan berpengaruh besar pada fiskal karena negara akan menanggung beban besar untuk listrik dari sumber itu. Hal itu mengemuka dalam dialog mengenai RUU EBT Berpeluang “Memukul” Keuangan Negara pada Kamis (9/9/) malam.
Sebagaimana diketahui, pemerintah dan DPR sedang berupaya mengejar target 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025 dengan mempersiapkan dua payung hukum secara hampir bersamaan, yakni Rancangan Undang-undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) dan revisi Permen ESDM Nomor 49/2018 soal Penggunaan Sistem PLTS Atap.
Pasalnya, dalam mengejar percepatan transisi energi, regulator kini menggodok dua aturan yang dinilai dapat memukul keuangan negara, mengguncang keuangan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN, serta merugikan masyarakat.
Pada salah satu pasal di RUU EBT yang sedang digodok, PLN diwajibkan membeli atau menyerap listrik yang dihasilkan dari pembangkit-pembangkit energi terbarukan.
Selain itu, anggaran negara juga akan kian terbebani karena salah satu pasal pada RUU EBT menyebutkan bahwa negara akan membayar kelebihan selisih biaya pokok produksi listrik dan harga jual dari energi terbarukan.
Kemudian pada revisi Permen ESDM No. 49/2018 juga PLN akan dikenai skema tarif ekspor-impor net-metering listrik sebesar 1 : 1. Artinya, tidak ada selisih tarif yang akan menjadi sumber pendapatan PLN di saat menerima, menyimpan, maupun menyalurkan kembali listrik dari PLTS Atap milik konsumen.
Alih-alih, PLN berpotensi merugi karena di saat yang sama harus mengeluarkan biaya investasi untuk penyimpanan, jaringan distribusi, hingga SDM.
Ekonom INDEF Abra Talattov menilai, RUU EBT memiliki implikasi terhadap ruang fiskal ke depan karena menambah beban kompensasi yang harus ditanggung negara.
Dia mengingatkan bahwa pemerintah saat ini tengah menghadapi normalisasi defisit fiskal. Tahun depan defisit fiskal masih diperbolehkan lebih dari 3 persen.
Namun, mulai 2024 dan tahun-tahun selanjutnya, defisit fiskal harus kembali di bawah 3 persen. Di sisi lain, lanjutnya, APBN juga menghadapi beban tambahan sebagai dampak dari berlarutnya pandemi Covid-19.
Untuk pembahasan RAPBN tahun depan saja, lanjutnya, pemerintah dan DPR telah berdebat panas mengenai realokasi anggaran mana saja yang dianggap mendesak sekaligus anggaran untuk bantalan sosial.
“Tentu ini akan menjadi perdebatan serius juga ke depan, artinya nanti akan ada pos-pos belanja lain yang harus dikorbankan dan dialihkan untuk menutup anggaran pengembangan EBT ini," katanya.
Namun demikian, dia menilai bahwa draf RUU EBT yang sedang disiapkan justru sangat kental dengan adanya intervensi pemerintah untuk mendorong transisi energi.
“Nah kita mendukung adanya tadi, burden sharing antara pemerintah dan non pemerintah. Tetapi bentuk-bentuk konkritnya seperti apa? Nah ini kan yang perlu dielaborasikan di draf RUU tadi?” katanya.
Jangan sampai, lanjutnya, Indonesia hanya menjadi pasar dalam aksi pengembangan EBT global ke depan. Abra mengingatkan bahwa untuk saat ini saja, dengan rendahnya tingkat komponen dalam negeri (TKDN) green infrastructure, Indonesia telah menjadi target pasar.
“Kita bisa menyimpulkan bahwa untuk saat ini, yang diuntungkan memang negara-negara produsen, penghasil teknologi dan infrastruktur dari sumber energi terbarukan. Nah kita menjadi objek atau menjadi pasar,” katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat