Hari Tani Nasional yang jatuh pada tanggal 24 September seakan menjadi momen bersejarah bagi para petani di seluruh Indonesia
Pada perayaan ini, para petani membuktikan peran mereka sebagai pahlawan pangan yang mampu memperkuat Indonesia. Pasalnya, sebuah negara bisa kuat apabila dapat memenuhi ketersediaan pangan bagi seluruh rakyatnya.
Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya mencetak generasi petani baru, terutama petani inovatif yang mengolah lahan gambut secara berkelanjutan. Upaya ini turut digalakkan oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) dengan menggelar pelatihan Sekolah Lapang Petani Gambut (SLPG) yang memperkenalkan pertanian alami dengan tidak membakar lahan.
“Para petani perlu solusi praktis dalam pertanian. Mereka kita beri materi terkait konsep dasar ekosistem gambut, teknik hingga praktik langsung pembuatan pupuk organik, pembenah tanah dan pestisida alami,” ujar Kepala Kelompok Kerja Bidang Edukasi dan Sosialisasi BRGM, Suwignya Utama.
“Di Hari Tani Nasional ini, kita bisa lihat banyak petani gambut yang sudah bisa mengolah lahannya tanpa membakar. Bahkan, pertanian alami dan berkelanjutan juga terbukti bisa meningkatkan kesejahteraan mereka,” sambungnya.
Suwignya mengatakan, pertanian alami sangat memberikan banyak manfaat, selain bisa menjaga kesuburan dan mencegah kerusakan tanah, pertanian tanpa bakar juga bisa berkontribusi pada pencegahan kebakaran hutan dan lahan, terutama di lahan gambut.
Meski sebelumnya banyak tantangan yang dihadapi, tutur Suwignya, namun pelatihan SLPG yang dilakukan oleh BRGM mulai menuai hasil dengan mencetak kader-kader SLPG yang terdiri dari para petani gambut di wilayah kerja BRGM, seperti Riau, Jambi, Sumatera Selatan (Sumsel), Kalimantan Barat (Kalbar), Kalimantan Tengah (Kalteng), Kalimantan Selatan (Kalsel) dan Papua.
Salah satunya Monihar, petani wanita asal Desa Mandala Jaya, Betara, Tanjung Jabung Barat, Jambi yang mengaku merasakan manfaat luar biasa dari pelatihan SLPG. Menurutnya, sejak ada SLPG BRGM dia tidak pernah lagi membeli pupuk atau pakai pupuk kimia. Tapi menggunakan pupuk organik yang semua bahannya dari pekarangan semua seperti limbah, kotoran kambing, dedaunan dan lainnya.
Sukses mengolah lahan gambut seluas 800 meter dengan tanaman hortikultura, Monihar menularkan ilmu yang didapat dengan mengajak ibu-ibu di desa untuk memanfaatkan lahan pekarangan mereka dengan menanam sayuran maupun rempah-rempah seperti jahe, yang bisa diolah menjadi produk makanan maupun minuman herbal.
“Saya pesan ke petani atau petani wanita usahakan jangan bakar lahan, karena kami sudah merasakan awalnya membakar itu bagus tapi lama-lama tanahnya rusak, kalau ditanami itu ga bagus, ini saya rasakan sendiri. Selain itu namanya kita perempuan jangan mengandalkan suami, biarpun ga punya lahan, coba maksimalkan pekarangan, usahakan untuk tanam sehingga bisa memenuhi kebutuhan pangan keluarga,” ungkapnya.
Adapun petani gambut lainnya yaitu Badri, Kader SLPG di Desa Buantan Lestari, Bunga Raya, Siak, Riau. Dirinya menyadari, jika membakar lahan bisa menyebabkan polusi udara, lahan menjadi rusak, bahkan bakteri atau mikroba dalam tanah juga ikut rusak.
“Alhamdulillah setelah diaplikasikan dari pelatihan SLPG sangat memuaskan, kami diajarkan pentingnya bakteri, unsur hara dan membuat pestisida nabati, itu sangat membantu meminimalkan pengeluaran untuk bertani. Salah satu yang saya senang pengolahan lahannya.” ungkap Badri yang mengaku puas memanen tiga kuintal sawi di lahan garapannya.
Menurutnya, pelatihan mengolah lahan gambut tanpa bakar tidak hanya memberikan ilmu kepada dirinya saja, tapi juga ia ajarkan ke petani lain, warga sekitar, hingga para pelajar sekolah.
“Kegiatan ini sangat positif dan membantu masyarakat, petani dan warga pemuda, sebagai generasi penerus hidup di lahan gambut harus bangga karena kita orang-orang yang terpilih. Terimakasih juga BRGM telah support petani gambut,” pungkasnya.
Manfaat lain juga dirasakan oleh Sofyani, Petani Gambut dari Desa Pandak Daun, Daha Utara, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Di mana mengolah lahan gambut membantu meningkatkan perekonomian serta mampu merubah perilaku masyarakat.
“Saya ingin berterimakasih kepada pemerintah yang telah memberikan bantuan alat pertanian, seperti traktor mini dan alat pencacah rumput, serta memberikan pelatihan budidaya yang bisa menambah ekonomi masyarakat, bahkan nanti rencananya juga akan ada revitaliasi ekonomi lumbung jamur, ” ungkap Sofiyani.
“Alhamdulillah melihat manfaatnya sangat besar, kita pun bertahap mengayomi masyarakat agar tidak ada lagi yang membakar hutan, bahkan warga kini kompak dan saling mengingatkan para petani gambut agar tak ada yang membakar lahan,” lanjutnya.
Kisah menarik lainya diungkapkan oleh Noor Halimah, Petani Gambut di Desa Lampuyang, Teluk Sampit, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah yang merasa tertantang untuk membuktikan jika lahan gambut bukanlah sebuah ‘kutukan’ melainkan sebuah ‘anugerah’ yang bisa membawa manfaat bagi kehidupan.
“Warga dulu sempat berpikir jika tanah gambut tidak bisa ditanami sayur. Mereka bahkan bukan pesimis lagi tapi sampai mengutuk Desa Lampuyang itu tidak bisa bercocok tanam, karena desa ini kalau musim hujan kebanjiran, musim kemarau kekeringan,” ungkap Kader SLPG, Noor Halimah.
Hali itulah yang membuat dirinya semakin bertekad untuk membuktikan jika tanaman hortikultura bisa tumbuh subur di lahan gambut. Perjuangannya pun berbuah manis, di mana akhirnya banyak warga ingin dilatih bercocok tanam.
“Alhamdulillah, lahan seluas setengah hektare yang saya garap kini ditanami sayuran, tanaman jagung dan beberapa tanaman buah seperti mangga, jeruk, jambu kristal dan lainnya. Saya ingin lahan ini menjadi percontohan dan pelatihan bagi mereka yang ingin bertani,” pungkasnya.
Tak mempuyai lahan luas bukanlah menjadi penghalang seseorang untuk menjadi seorang petani. Hal itu dibuktikan Supariyati, Petani Gambut dari Desa Dabong, Kubu, Kubu Raya, Kalimantan Barat yang menggerakan para ibu rumah tangga menjadi ‘petani pekarangan’.
“Cita-cita saya itu ingin menciptakan petani pekarangan, dimulai dari memanfaatkan pekarangan di rumah, ibu-ibu nantinya bisa memenuhi kebutuhan pangan keluarga bahkan mungkin bisa menjadi sumber penghasilan baru bagi mereka,” harap Supariyati.
Usahanya pun disambut antusias oleh para ibu-ibu, di mana mereka mencoba bercocok tanam di lahan pekarangan, mulai dari tanaman sayuran hingga palawija.
Manfaat mengolah lahan gambut tanpa bakar juga dirasakan oleh Sarimin, Petani Gambut dari Desa Jalur Muly, Muara Sugihan, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Dari lahan seluas 6 hektare, Sarimin bersama 38 petani gambut lainnya menanam padi dengan menggunakan pupuk organik dari hasil pelatihan SLPG.
“Hasilnya sangat memuaskan, bahkan kami tidak pernah gagal panen. Panen kemarin kita bisa menghasilkan 6-7 ton beras,” ungkap Sarimin yang mengaku bersyukur selalu berhasil panen padi.
Memanfaatkan lahan gambut di areal restorasi, BRGM membangun demonstration farm dengan membudidayakan padi gambut seluas 250 ha di Desa Talio Hulu, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Jumino, Ketua Poktan Talio Hulu menjelaskan bahwa areal gambut yang dulunya terbengkalai selalu terbakar sekarang dapat memberikan hasil tambahan pendapatan bagi para petani setempat.
"Kebakaranpun dapat diminimalisir," pungkasnya
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: