Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Miris, Indonesia Krisis Petani Muda

Miris, Indonesia Krisis Petani Muda Petani memanen padi menggunakan alat ani-ani di Kabupaten Serang, Banten, Senin (20/9/2021). Petani di daerah tersebut masih memanen padi dengan menggunakan alat pemotong padi tradisional ani-ani atau masyarakat setempat menyebutnya etem yang terbuat dari bambu dengan pisau kecil. | Kredit Foto: Antara/Muhammad Bagus Khoirunas
Warta Ekonomi, Bandung -

Meskipun Indonesia dikenal sebagai negara agraris namun jumlah petani di Indonesia, angkanya terus menurun. Berdasarkan data Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional) Agustus 2020,  proporsi petani Jawa Barat paling banyak berada pada kelompok umur 45-49 tahun, yaitu sebanyak 36,30 persen.

Demikian diungkapkan, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat Dyah Anugrah Kuswardani saat acara Webinar “Transformasi Pertanian Jawa Barat Bersama Petani Milenial yang Inovatif dan Kekinian; Peluang dan Tantangan," Kamis (7/10/2021). Baca Juga: BPS Sebut 3 Subsektor Dorong Peningkatan Nilai Tukar Petani Nasional

Sementara, petani berusia 30-44 tahun  hanya 24,06 persen. Apalagi jika dilihat menurut tingkat pendidikan, ternyata dari seluruh tenaga kerja di sektor pertanian tersebut, 81,32% nya berpendidikan setara SD ke bawah.

"Krisis petani muda merupakan satu persoalan dari sekian banyak persoalan di sektor pertanian," ujarnya.

Baca Juga: BPS: Neraca Perdagangan Indonesia Surplus US$4,74 Miliar per Agustus 2021

Melansir penelitian dari LIPI tahun 2019, menurunnya minat pemuda terhadap petani disebabkan karena generasi muda melihat profesi petani tidak menguntungkan dan tidak membanggakan. 

Dyah menilai pemuda desa lebih tertarik mencari pekerjaan di kota dan tidak kembali lagi ke desa sehingga lahan-lahan pertanian di perdesaan kehilangan tenaga kerja muda, yang tersisa adalah petani dengan penduduk yang semakin menua.

Masalah penuaan usia petani patut menjadi perhatian semua pihak. Jika kegiatan produksi pertanian hanya dilakukan oleh generasi tua, maka perlahan tapi pasti, jumlah petani akan semakin berkurang dari tahun ke tahun.

"Akibatnya produksi pertanian juga akan ikut menurun, dan selanjutnya sangat dimungkinkan akan terjadi ketidak-seimbangan antara ketersediaan produksi dengan kebutuhan konsumsi," jelasnya.

Semakin menyusutnya jumlah petani yang produktif tidak saja mempengaruhi aspek ekonomi, tetapi juga bisa menimbulkan isu lingkungan. Lahan-lahan pertanian yang terlantar karena tidak ada lagi yang menggarap bisa berubah fungsi menjadi lahan perumahan, industri, dan infrastruktur lainnya. Sehingga lahan-lahan pertanian akan semakin menyusut dan muncullah permasalahan ketidakseimbangan lingkungan. 

"Dengan daya dukung teknologi dan kemampuan berinovasi, masih ada harapan buat kita menyelamatkan katahanan pangan Indonesia, dan Jawa Barat pada khususnya," ungkapnya.

"Para generasi milenial perlu membuka matanya bahwa banyak contoh sukses para pelaku bisnis di sektor pertanian," tambahnya.

Melihat kondisi tersebut, BPS Provinsi Jawa Barat menyelenggaran webinar “Transformasi Pertanian Jawa Barat Bersama Petani Milenial yang Inovatif dan Kekinian; Peluang dan Tantangan ” dengan mengangkat topik mengenai regenerasi petani di Jawa Barat. 

Adapun, tujuan kegiatan webinar kali ini adalah mensosialisasikan pemanfaatan data yang dihasilkan BPS kepada masyarakat Indonesia dan Jawa Barat khususnya, memberikan gambaran partisipasi kaum milenial pada sektor pertanian, dan memberikan motivasikepada kaum milenial untuk berpartisipasi alam menggerakkan sektor pertanian.

"Diharapkan melalui kegiatan webinar ini dapat mempertemukan BPS, pemerintah, pelaku usaha di sektor pertanian,  untuk menunjukkan daya tarik pertanian bagi para millenial," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Vicky Fadil

Bagikan Artikel: