Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

SPKS Jelaskan Kondisi Kesejahteraan Petani Sawit di Indonesia

SPKS Jelaskan Kondisi Kesejahteraan Petani Sawit di Indonesia Pekerja mengangkut dan menata tandan buah segar kelapa sawit saat panen di Desa Jalin, Kecamatan Kota Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Senin (23/8/2021). Pemerintah Aceh sejak tahun 2018-2020 telah menerima dana program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dari Dirjen Perkebunan (Dirjenbun) Kemeterian Pertanian (Kementan) sebesar Rp 793 miliar, dan untuk tahun 2021 kembali mendapatkan bantuan tersebut sekitar Rp615 miliar. | Kredit Foto: Antara/Syifa Yulinnas
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto menjelaskan terdapat dua jenis petani sawit di Indonesia, yakni petani yang hanya mengelola komoditas sawit dan petani yang mengelola komoditas sawit serta komoditas lainnya. Menurutnya, kedua jenis petani ini memiliki tingkat kesejahteraan yang berbeda.

"Tingkat kesejahteraannya berbeda, daya tahannya juga berbeda," kata Darto dalam diskusi virtual Narasi Institute, Selasa (19/10/2021).

Baca Juga: Riau: Tingginya Harga Sawit Berpengaruh Terhadap Penerimaan Negara

Petani yang hanya mengelola komoditas sawit sangat bergantung kepada harga sawit untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, baik untuk kebutuhan sandang, pangan, papan, dan pendidikan. Kesejahteraan mereka rentan terancam terutama bila terjadi krisis.

Di sisi lain, petani yang juga turut mengandalkan panen dari komoditas lain memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih stabil dibanding petani sawit. "Mereka untuk membeli kebutuhan pokok itu secara minimal. Kemudian juga bisa untuk membeli kebutuhan kebun dan pendidikan anak," tambah Darto.

Ia kemudian memaparkan hasil riset yang telah ia lakukan pada 6 provinsi di Indonesia terkait cara yang perlu dipenuhi agar petani dapat memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, dan pendidikan.

Skema pertama adalah dengan memenuhi kebutuhan lahan panen sekitar 6-8 hektare (ha) bagi petani. Skema ini pun memiliki beberapa syarat yang perlu dipenuhi, seperti anak petani tidak lebih dari 2 orang, produktivitas lahan minimal 14 ton/ha per tahun, dan harga tandan buah segar (TBS) tidak boleh di bawah Rp1.200/kg.

Kemudian skema yang kedua adalah bila ketersediaan lahan yang terpenuhi seluas 3-5 ha. "Bisa juga sebenarnya, tapi syaratnya produktivitas minimal 16 ton/ha per tahun dan para petani yang mengelola 3-5 ha ini harus mengelola komoditas lain, seperti misalnya komoditas karet," ujar Darto.

"Kalau syarat-syarat itu tidak terpenuhi, tentunya [skema] ini tidak akan cukup [untuk mensejahterakan petani]," jelasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Alfi Dinilhaq

Bagikan Artikel: