Waspada Data Bocor, Kenali Cara Kerja Pelaku Penipuan! Begini Caranya...
Kebocoran data makin marak terjadi belakangan ini. Selain mengganggu, kebocoran data ini juga acap kali merugikan masyarakat. Penting bagi kita untuk memahami bagaimana cara kerja pelaku penipuan agar terhindar dari insiden kebocoran data.
Cyber Security Researcher & Consultant Teguh Aprianto menjelaskan, ada tiga cara paling umum yang digunakan oleh pelaku kejahatan dalam memperoleh data pribadi korbannya.
Baca Juga: Keamanan Data Pribadi Makin Penting di Era Digitalisasi, Ini yang Dilakukan OVO
"Pertama, ada open source intelligence (OSINT). Ini sering digunakan di hampir semua bidang, seperti jurnalis, penegakan hukum, dan lain-lain. Pada dasarnya, OSINT ini mencari data seseorang melalui sumber terbuka yang ada di internet, termasuk media sosial dan Google. Jadi, ketika saya mencari data seseorang di Google, ini sudah termasuk OSINT," kata Teguh dalam konferensi pers virtual Peluncuran Program 'Jenius Aman', Kamis (28/10/2021).
Kedua, melalui teknik social engineering. Serupa dengan hipnotis, pelaku kejahatan akan mencoba memanipulasi korban guna mendapatkan data-data pribadi. Pelaku akan menghubungi korban melalui data nama lengkap dan nomor telepon yang diperoleh dari OSINT. Pelaku juga dapat memperoleh informasi bank yang digunakan korban melalui media sosial, apabila korban pernah menghubungi bank tertentu melalui media sosialnya. Dengan demikian, pelaku tinggal berpura-pura berperan menjadi pihak bank.
"Biasanya, yang jadi korban adalah orang awam. Kalau yang teredukasi, biasanya sudah paham," ujar Teguh.
Terakhir, pelaku kejahatan dapat memperoleh data melalui data breach. Teknik ini memungkinkan pelaku mencari data tentang seseorang. "Kasus yang selama ini terjadi di Indonesia, penipuan itu paling sering melalui telepon. Dari papa minta pulsa sampai minta kode OTP. Bisa juga lewat WhatsApp, Twitter, dan Instagram," tambahnya.
Menurut Teguh, korban yang paling rentan menjadi target adalah orang yang tidak teliti. Korban sejenis ini cenderung tidak melakukan cek dan verifikasi. Selain itu, korban yang awam dan gagap teknologi juga tergolong korban yang rentan.
Akan tetapi, lanjut Teguh, orang yang telah teredukasi pun kadang masih terjebak dalam upaya penipuan. Hal ini umumnya disebabkan korban dihubungi ketika sedang melakukan aktivitas lain.
"Misal ketika mereka menerima telepon saat sedang bekerja, mereka cenderung iya-iya aja karena sedang ribet. Mereka ini objek yang sangat rentan," jelasnya.
Teguh mengimbau masyarakat untuk lebih teliti dan memahami pola kasus penipuan agar dapat mendeteksi kasus-kasus seperti ini. "Orang-orang tidak akan bisa jadi korban penipuan adalah orang-orang yang melakukan pemeriksaan dan mendeteksi penipuan. Biasanya mereka malah kerjain balik pelaku penipuan," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: