Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

IESR Sebut Subsidi Energi Fosil dapat Menghambat Transisi Energi

IESR Sebut Subsidi Energi Fosil dapat Menghambat Transisi Energi Pekerja melakukan pengecekan instalasi sumur Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) PT Geo Dipa Energi di dataran tinggi Dieng, Batur, Banjarnegara, Jateng, Rabu (4/4). Dieng merupakan salah satu lokasi proyek PLTP Geo Dipa Energi dengan kontur pegunungan, sumber air panas, solfatara, fumarole serta bebatuan yang merupakan lokasi potensial untuk pengembangan sumber energi panas bumi (geothermal) dengan perkiraan sebesar 400 MW. | Kredit Foto: Antara/Anis Efizudin
Warta Ekonomi, Jakarta -

Institute for Essential Service Reform (IESR) menyebut subsidi energi fosil dapat menjadi kontraproduktif terhadap upaya melakukan transisi energi dalam mencapai dekarbonisasi. Di awal pandemi, negara G20 mengucurkan sedikitnya USD 318,84 miliar untuk menyokong energi fosil.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan berdasarkan catatan Climate Transparency 2021, Indonesia telah menghabiskan USD 8,6 miliar untuk subsidi bahan bakar fosil pada 2019. Sebesar 21,96 persen digunakan untuk minyak bumi dan 38,48 persen listrik.

Baca Juga: TJSL PLN Bidik Pengolahan Sampah Menjadi Sumber Energi

Indonesia sempat berhasil melakukan reformasi subsidi bahan bakar minyak dan listrik pada 2014-2017. Namun, masih memberikan alokasi subsidi energi fosil yang besar dan mengalami kenaikan sebesar 27 persen pada kurun waktu 2017-2019.

“Pemberian subsidi energi fosil tidak saja menghambat rencana dan upaya memangkas emisi gas rumah kaca dan dekarbonisasi, tetapi juga menghasilkan inefisiensi penggunaan energi, dan menciptakan pemborosan akibat subsidi yang tidak tepat sasaran, dan membuat energi terbarukan sukar bersaing,” ujarnya, Jumat (12/11/2021).

Penghentian subsidi bahan bakar fosil akan menciptakan lapangan tanding usaha yang rata (level playing field) bagi energi terbarukan. Selain itu, menurutnya, dana subsidi energi fosil akan jauh lebih bermanfaat bila dialihkan pada masyarakat yang paling rentan, pembangunan pendidikan dan fasilitas kesehatan, pengembangan energi terbarukan serta mengakomodasi dampak transisi energi bagi para pekerja di industri energi fosil yang terdampak.

“Reformasi subsidi energi pada sisi konsumsi tidak boleh dilakukan secara serampangan sehingga membuat orang miskin tidak mendapatkan akses energi yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Sebaliknya reformasi dilakukan dengan diikuti dengan pengumpulan dan pemanfaatan basis data keluarga miskin dan skema penyaluran subsidi yang tepat sasaran,” jelasnya.

Fabby berpendapat bahwa penetapan kebijakan harga batubara Domestic Market Obligation (DMO) dan gas untuk PLN merupakan salah satu bentuk subsidi dan telah membuat harga listrik dari PLTU dan PLTG tidak mencerminkan biaya sebenarnya. Kebijakan ini juga membuat PLN akan memprioritaskan penggunaan PLTU ketimbang energi terbarukan, yang lebih murah.

“Pemerintah harus meninjau ulang kebijakan patokan harga DMO untuk pembangkit listrik dan membuat rencana untuk mengakhiri kebijakan ini. Ini selaras dengan keputusan pemerintah yang tidak akan memberikan ijin untuk pembangunan PLTU baru di luar program 35 GW dan rencana pensiun dini PLTU sebelum 2030,” kata Fabby. 

Analisis Climate Transparency 2021 menunjukkan agar tercapai target Persetujuan Paris, semua wilayah di dunia harus menghentikan PLTU batubara secara bertahap antara tahun 2030 dan 2040. Pada tahun 2040, pangsa energi terbarukan dalam pembangkit listrik harus ditingkatkan menjadi setidaknya 75%, dan pangsa batubara tanpa teknologi CCS/CCUS dikurangi menjadi nol.

Sedangkan dalam KEN, Indonesia berjanji untuk mengurangi batubara hingga 30% pada tahun 2025 dan 25% pada tahun 2050. Sementara, agar selaras dengan Persetujuan Paris, pembangkitan listrik dari batubara harus mencapai puncaknya pada tahun 2020 dan menghentikan batubara sepenuhnya pada tahun 2037.

Berdasarkan perhitungan IESR dalam kajian Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System biaya untuk mentransformasi sistem energi Indonesia untuk meraih bebas emisi pada 2050 mencapai USD 25 miliar per tahun hingga 2030, dan akan meningkat tajam setelahnya menjadi USD 60 triliun per tahun.

Manager Program Ekonomi Hijau IESR, Lisa Wijayani mengatakan subsidi energi fosil akan memperburuk emisi karbon. Hal tersebut dapat menjadi beban negara yang menyebabkan kerugian ekonomi dan pengeluaran keuangan negara untuk mengatasi bencana akibat perubahan iklim.

Lisa menyarankan subsidi tersebut dapat dialihkan untuk membantu percepatan transisi energi menggunakan energi terbarukan. Sehingga dapat mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen di 2025.

Pada Deklarasi G20, Oktober lalu di Roma, negara G20 telah sepakat untuk meningkatkan komitmennya untuk menekan subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien. IESR memandang Indonesia dapat menggunakan peluang kepemimpinan Indonesia di G20 pada 2022 untuk mendorong aksi nyata keluar dari beban pembiayaan terhadap energi fosil.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Bethriq Kindy Arrazy
Editor: Alfi Dinilhaq

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: