BPOM Harus Membuat Kajian Dampak atas Regulasi sebelum Revisi Peraturan Label AMDK
Perubahan Kedua atas Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan tidak boleh dilakukan secara sepihak oleh BPOM tanpa mempertimbangkan pandangan-pandangan dari para stakeholder (pemangku kepentingan) lainnya yang terdampak oleh kebijakan tersebut.
Untuk itu perlu dilakukan kajian Regulatory Impact Assessment (RIA) yang mengakomodasi semua pemangku kepentingan, termasuk di dalamnya analisis mendalam terhadap dampak ekonomi dan sosial yang bisa ditimbulkan oleh kebijakan tersebut.
Baca Juga: Pakar Keamanan Pangan IPB Ingatkan BPOM Untuk Tidak Diskriminatif Dalam Membuat Aturan Pangan
Hal itu terungkap dalam acara diskusi media dengan tema “Regulasi Kemasan Pangan dan Dampaknya Pada Iklim Usaha dan Perekonomian” yang dilakukan secara daring pada Kamis (2/12). Diskusi ini menghadirkan beberapa narasumber di antaranya Asisten Deputi Pangan Kemenko Perekonomian, Muhammad Saifulloh, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin, Edy Sutopo, Ketua Umum Aspadin, Rachmat Hidayat, Pakar Kebijakan Publik Agus Pambagio, dan Ketua Pokja Infeksi Saluran Reproduksi, Dr.dr. M. Alamsyah Azis, SpOG (K), M.Kes.
Rencana Kepala Badan POM untuk melakukan revisi pelabelan khusus untuk kemasan galon berbahan polikarbonat (PC) menimbulkan pertanyaan oleh banyak pihak karena BPOM selama ini mengatakan bahwa galon PC aman. BPOM juga terkesan hanya mengakomodasi desakan dari beberapa LSM yang gencar melakukan kampanye negatif terhadap galon PC semenjak diluncurkannya galon berbahan PET di pasar sejak tahun 2020.
Beberapa waktu lalu, pengusaha Frankie Welirang dan Erik Garnadi, Ketua Asosiasi Pengusaha Air Isi Ulang (ASDAMINDO) melihat isu ini memiliki motif persaingan usaha. Mereka berharap BPOM jangan sampai ditunggangi kepentingan dagang dari pihak tertentu dengan merugikan pihak lain.
Deputi Pangan Kemenko Perekonomian, Muhammad Saifulloh menyampaikan Perubahan Peraturan BPOM soal Label Pangan Olahan ini harus memperhatikan misi Presiden 2020 – 2021 terkait struktur ekonomi yang produktif dan mandiri, serta berdaya saing serta pembangunan yang merata dan berkeadilan. Selain itu juga dua dari tujuh agenda pembangunan, yaitu memperkuat ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan yang berkualitas dan berkeadilan, serta mengambangkan wilayah untuk mengurangi kesenjangan dan menjamin pemerataan.
Karenanya, menurut Saifulloh, sebelum mengeksekusi perubahan peraturan terkait pelabelan pangan olahan itu, BPOM harus menyampaikan terlebih dulu presentasinya kepada publik semua pro kontranya. “Saya pikir nggak bisa serta merta Badan POM secara sendiri mengeksekusi regulasi itu. Mereka juga harus melihat keseimbangan usaha. Apalagi saat ini masih dalam masa pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Edy Sutopo. Dia mengatakan selain aspek kesehatan, perubahan peraturan BPOM soal label pangan olahan harus juga mempertimbangkan aspek ekonomi dan lingkungan. Dari aspek ekonomi, BPOM harus melihat bagaimana pengembangan industri yang berkontribusi terhadap perekonomian nasional. “Tentunya dalam hal ini kita perlu menjaga daya saing melalui menjaga iklim usaha yang kondusif bagi industri,” ujarnya.
Dia menuturkan kontribusi industri pangan dan minuman sangat besar terhadap perekonomian nasional. Pada triwulan III 2021 misalnya, kontribusinya terhadap PDB sebesar 3,49% yoy, dan kontribusi terhadap PDB industri non migas mencapai 38,91% (yoy). Sementara, ekspor makanan minuman sampai dengan September 2021 mencapai US$ 32,51 miliar dan impornya US$ 10,13 miliar. “Saya kira investasi yang ada ini perlu dijaga bisa tumbuh dan berkembang untuk tetap menghasilkan pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang kita harapkan,” tukasnya.
Rachmat Hidayat juga menyampaikan industri air minum dalam kemasan (AMDK) keberatan terhadap rencana perubahan peraturan BPOM terkait label pangan olahan ini. Menurutnya, jika mau melakukan pelabelan, BPOM harus melakukannya untuk semua produk pangan. Dia merujuk kepada Peraturan BPOM No. 20 tahun 2019 tentang Kemasan Pangan dan Peraturan BPOM No.31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. “Jadi, BPOM harus membuat kebijakan atas dasar keadilan dan kesetaraan, harus mengatur semua pangan olahan dan tidak hanya AMDK,” cetusnya.
Dia menuturkan jika rencana revisi peraturan label pangan itu jadi diwujudkan, industri AMDK khususnya yang memproduksi galon guna ulang akan mengalami kerugian sampai Rp 36 triliun per tahun. “Mungkin industri ini sebagian besar akan tutup. Tidak itu saja, jika semua produsen mengubah produknya menjadi galon sekali pakai, ini akan menimbulkan masalah lingkungan hidup,” tuturnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Alfi Dinilhaq