Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Haris Azhar menanggapi tuntutan hukuman mati yang diterapkan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap Presiden PT Trada Alam Minera Heru Hidayat, terdakwa kasus korupsi pengelolaan dana investasi PT Asabri yang merugikan negara sebesar Rp22,7 triliun.
“Kalau saya ikuti penanganan kasus ini, ada banyak keanehan dalam penyitaan aset, dimana banyak aset pihak ketiga dirampas tanpa ada kejelasan hubungan dengan kejahatan yang dituduhkan. Wacana hukuman mati justru semakin menakuti warga yang asetnya kena sita,” kata Haris, Rabu, 8 Desember 2021.
Baca Juga: Jaksa Agung Mulai Mengkaji Hukuman Mati untuk Koruptor, Suara Penolakan Mulai Muncul
Menurut dia, dalam studi-studi para ahli hukum dan HAM, salah satu faktor pelarangan hukuman mati karena bentuk hukuman tersebut sering digunakan untuk represi dan digunakan menakuti orang yang dituduh melakukan kejahatan dalam hal ini korupsi.
"Ini adalah permainan psikologis. Sementara, kita tahu bahwa kualitas kerja institusi penegak hukum dan aparatnya masih banyak celah negatif. Apalagi penghitungan kerugian negara yang dilakukan oleh BPK ditengarai tidak dilakukan secara independen dan cermat. Lalu dimana letaknya rasa keadilan itu?,”ujarnya.
Untuk itu, ia mengatakan wacana dan pelaksanaan hukuman mati tidak bisa diterapkan ketika sebuah institusi, kebijakan (pemidanaan) dan pelaksanaan kerjanya masih buruk, korup, bisa dibeli atau menerima pesanan dari pihak tertentu. “Kejaksaan bukan taman eden yang orang-orangnya lurus bekerja dan tak kenal godaan,” jelas dia.
Sementara Pengacara Heru Hidayat, Kresna Hutauruk mengatakan hukuman mati tak bisa diterapkan dalam perkara kasus Asabri. Karena, kata dia, jaksa tidak memasukkan pasal terkait dengan hukuman mati.
"Untuk perkara Asabri bapak Heru Hidayat, jelas hukuman mati tidak bisa diterapkan. Dalam Undang-undang Tipikor, hukuman mati diatur dalam Pasal 2 Ayat (2), dimana dalam dakwaan terhadap bapak Heru Hidayat, jaksa tidak memasukkan pasal tersebut didalam dakwaan," kata Kresna.
Maka dari itu, ia mempertanyakan bagaimana mungkin bisa menerapkan hukuman mati padahal dalam dakwaan jaksa tidak menyertakan pasal tersebut. Selain itu, Kresna mengatakan bahwa penerapan hukuman mati dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor terdapat beberapa ketentuan.
“Patut dicatat, pak Heru bukan residivis yang melakukan pengulangan tindak pidananya,” tandasnya.
Diketahui, Presiden PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat dituntut hukuman mati oleh jaksa karena diduga melakukan korupsi dalam kasus Asabri. Jaksa menyebut Heru Hidayat telah memperkaya diri bersama dua mantan Direktur Utama Asabri lainnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Alfi Dinilhaq
Tag Terkait: