Sejumlah partai politik kembali memunculkan wacana ingin menghapuskan ambang batas pencalonan presiden atau presidensial threshold menjadi nol persen. Ternyata, pro dan kontra masih menyelimuti untuk tidak dihapuskan presidensial threshold tersebut.
Usulan Sah-sah Saja
Sekretaris Fraksi PPP DPR, Achmad Baidowi, menilai usulan presidensial threshold nol persen sah-sah saja disampaikan sebagai bagian kebebasan berpendapat, termasuk hak mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi karena dilindungi undang-undang.
Ditolak MK
Namun, kata dia, gugatan terhadap UU Pemilu agar presidensial threshold nol persen sudah sering dilakukan dan ditolak oleh MK. Sebab, lanjut Awiek, MK memberikan kekuasaan kepada pembentuk UU (DPR dan pemerintah) untuk mengatur mengenai ketentuan threshold.
Baca Juga: Menghentak Sunyi! Munarman: Jika Saya Teroris, Presiden Hingga Panglima Sudah ke Alam Lain
“Sejauh ini belum ada rencana merevisi Undang-Undang Pemilu, sehingga ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2017 tetap berlaku sepanjang menyangkut pasal-pasal yang tidak dibatalkan MK,” kata Awiek melalui keterangannya pada Rabu, 15 Desember 2021.
Menurut dia, adanya presidensial threshold sebagai bentuk insentif atau penghargaan kepada partai politik yang sudah berjuang pada pemilu. Selain itu, jangan sampai presiden terpilih nantinya tidak dapat dukungan di parlemen sehingga akan menghambat kebijakan yang dibuatnya.
Para Calon Tidak Akan Tersaring
Hal senada disampaikan oleh Anggota DPR Fraksi Partai Golkar, Nurul Arifin. Menurut dia, presidensial threshold itu harus tetap ada karena para calon tidak akan tersaring apabila ambang batas dihapuskan.
“Jika disebutkan bahwa ini mengamputasi dan mengeliminasi tugas dari partai politik, itu tidak benar. Karena partai politik itu kan mempunyai fungsi untuk kaderisasi, aspirasi politik, menyediakan kader-kadernya untuk jabatan-jabatan politik dan itu sudah tersaring,” kata dia.
Ketika tidak ada presidensial threshold, kata dia, maka semua orang bisa masuk begitu saja sehingga bisa mengakibatkan kericuhan, keributan, riuh rendah yang tidak perlu dan seleksi melalui partai politik sudah sesuai dengan undang-undang.
“Saya kira ini tetap harus dipertahankan. Masalah angka kalau sekarang mengikuti 25 persen perolehan suara dan 20 persen kursi di parlemen, saya kira sudah cukup. Kalau mau diperdebatkan, mungkin hanya dipersoalan angka. Namun, pada prinsipnya presidential threshold harus tetap ada,” katanya.
Baca Juga: Singgung 212, Presiden Sampai Panglima TNI Disebut-sebut Munarman dalam Pembacaan Eksepsi Kasusnya
PAN Setuju Nol Persen Namun, Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Viva Yoga Mauladi, malah berbeda pandangan terkait presidensial trheshold dengan PPP maupun Partai Golkar. Menurut dia, PAN setuju jika presidensial threshold dihapuskan atau nol persen.
“Bahkan, sejak pembahasan RUU Pemilu (sekarang UU Nomor 7 tahun 2017), di mana saya ikut sebagai anggota Pansus RUU Pemilu, sikap PAN sudah jelas yaitu preshold (presidensial threshold) 0 persen,” katanya.
Alasannya, Viva mengatakan agar melahirkan dan tumbuh tunas-tunas baru bagi kepemimpinan bangsa dan negara. Karena, sudah tidak ada lagi pembatasan dalam pengusulan pasangan calon oleh partai politik atau gabungan partai politik. Selain itu, menghilangkan kesan dan persepsi negatif kepada partai politik yang dianggap sebagai pembajak sistem demokrasi Pancasila, dan menjadi akar kepemimpinan oligarkis sebagai virus bagi kesehatan demokrasi.
“Saya yakin meski preshold 0 persen, tidak seluruh partai politik akan menyalonkan kadernya di Pilpres, mengingat ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Misal tentang logistik, elektabilitas, struktur dan organisasi kampanye, dan lainnya,” katanya.
Baca Juga: Kiprah Haji Lulung 'The Godfather' Tanah Abang, dari Pengusaha Sampai Perseteruan dengan Ahok
Kemudian, kata dia, dihapusnya presidensial threshold untuk menghilangkan bahaya potensi konflik akibat pasangan calon sedikit (hanya 2 paslon) yang memasukkan nilai primordial ke dalam turbulensi politik dan dijadikan kayu bakar elektabilias. “Jika paslon lebih dari 3, potensi konflik relatif rendah,” katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Bayu Muhardianto