Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kelebihan dan Kekurangan terkait Putusan MK yang Hapus PT

Kelebihan dan Kekurangan terkait Putusan MK yang Hapus PT Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan ketentuan Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017 yang mengatur ambang batas syarat pencalonan presiden dan wakil presiden merupakan keputusan yang progresif.

"Oleh karenanya perlu diapresiasi tapi sekaligus perlu dicermati," kata Karyono dalam keterangannya, Jumat (3 Januari 2025).

Meski demikian, putusan MK tersebut mengandung konsekuensi yaitu semua partai politik peserta pemilu memiliki hak yang sama untuk mengajukan pasangan calon.

"Sehingga masyarakat memiliki banyak pilihan untuk memilih figur capres dan cawapres," pungkasnya.

Karyono menambahkan putusan tersebut perlu dicermati terutama implikasi pengaturan pelaksanaan dan kontestasi pilpres ke depan.

Dihapusnya ambang batas pencalonan presiden di satu sisi membuka peluang munculnya figur-figur alternatif tapi di sisi lain, banyaknya calon presiden yang jumlahnya sama dengan jumlah partai peserta pemilu juga perlu dicermati.

"Implikasinya bisa menimbulkan kompetisi yang tidak sehat. Polarisasi di masyarakat justru berpotensi melebar jika tidak diantisipasi dari aspek regulasi dan teknis pelaksanaannya," tuturnya.

MK sendiri dalam amar putusannya sudah mengantisipasi potensi munculnya banyak calon. Karenanya, MK meminta lembaga pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusi (constitution engineering) termasuk di dalamnya harus memperhitungkan agar calon presiden dan wakil presiden tidak terlalu banyak, supaya tidak mengganggu hakikat pemilihan langsung oleh rakyat untuk menghasilkan pemilu yang demokratis dan berintegritas.

"Implikasi lainnya yang perlu dicermati adalah rusaknya mental elit dan para aktor politik yang terbiasa menggunakan cara-cara inkonstitusional untuk meraih kemenangan dengan budaya politik transaksional dan menghalalkan segala cara diantaranya melakukan money politic dengan berbagai variasi, intimidasi, kampanye hitam, menyebarkan hoaks, manipulasi suara, melibatkan oknum ASN dan aparat dan cara-cara kotor lainnya yang mengabaikan etika, hukum dan moral," tambahnya.

Di sisi lain, rendahnya pemahaman politik dan minimnya kesadaran demokrasi masyarakat di akar rumput juga menjadi masalah tersendiri yang memerlukan solusi, yaitu pendidikan tentang prinsip pemilu yang demokratis dan berintegritas.

Berbagai masalah tersebut terjadi berulang kali setiap pemilu. Oleh karena itu, jika kondisi tersebut masih belum diperbaiki, maka banyaknya calon presiden alternatif belum tentu menghasilkan pemilu dan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas.

Dengan banyaknya calon presiden tentu biaya pemilu akan bertambah besar apalagi potensi pilpres dua putaran justru sangat besar jika persyaratan calon terpilih tidak berubah. Pasal 159, ayat 1 UU No.42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden telah diatur penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih.

"Pasangan Calon terpilih harus meperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia,"

"Ironisnya, terpilihnya paslon presiden tidak linear dengan kualitas pemilu jika mental para aktor politik dan pelaksanaan pemilunya masih belum baik.

Terbukanya partai politik peserta pemilu dalam mengajukan pasangan calon tetap masih terbuka peluang koalisi. Tapi hasrat  koalisi di awal awal berpotensi berkurang karena parpol merasa bisa mengusung paslon sendiri.

Baca Juga: Biaya Politik Mahal, Dihapusnya Presidential Threshold Belum Dapat Optimalkan Pilpres di Indonesia

"Kemungkinan hasrat koalisi akan meningkat jika terjadi dua putaran. Budaya politik transaksional yang  semakin menguat juga masih akan mewarnai koalisi. Beban kerja penyelanggara pemilu juga meningkat. Jika tidak diantisipasi maka menimbulkan tragedi seperti yang terjadi pada pemilu 2019, banyak korban meninggal dunia sakit karena kelelahan," jelasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: