Adopsi Teknologi Kian Meningkat, CEO Citi: Ini Tren dan Potensi Digital Ekonomi di Indonesia
Perkembangan industri digital di Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat cepat dalam beberapa tahun terakhir. Peran industri digital dalam mendukung pertumbuhan ekonomi semakin dirasakan. Adopsi teknologi yang tinggi dari masyarakat khususnya di masa pandemi menjadi salah satu faktor yang mempercepat perkembangan industri digital di Indonesia.
Melihat hal ini, Batara Sianturi, CEO dari Citi Indonesia menjelaskan tentang beberapa tren yang dialami sampai tahun 2030 tentang market sizing daripada potensi digital ekonomi di Indonesia.
Baca Juga: Citi Indonesia Bukukan Laba Bersih sebesar Rp869 Milyar di Triwulan Ketiga 2021
“Kami memperkirakan berlanjutnya normalisasi permintaan domestik pada tahun 2022, terbebani dengan mundurnya dukungan fiskal dan arus modal yang berombak. Sikap kebijakan moneter dapat sedikit diperketat, tetapi kondisi moneter masih akan jauh lebih longgar dibandingkan sebelum Covid, sehingga mendukung rebound belanja modal,” katanya dalam acara daring, Kamis (23/12).
Lebih lanjut, berikut 4 poin yang dijelaskan tentang perkembangan tren ekonomi digital di Indonesia.
Batara juga menjelaskan kedepannya pertumbuhan PDB terdapat normalisasi aktivitas untuk memimpin, meskipun sebagian diimbangi oleh penarikan fiskal. Hal ini menurutnya mengingat munculnya varian baru dan menurunnya kekebalan penerima vaksin awal, serta gelombang infeksi baru tidak dapat dikesampingkan.
“Namun kami memperkirakan dampak ekonomi dari gelombang semacam itu akan lebih jinak dibandingkan dengan yang sebelumnya. Momentum penguatan yang lebih kuat akan mengikuti dan ini akan meletakkan dasar bagi pemulihan belanja modal sektor swasta di 2H22. Di sisi lain, dorongan fiskal akan terus berkurang tahun depan karena defisit fiskal menyusut,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan meskipun sikap pengetatan dari pemerintah masih berlanjut, kondisi moneter akan tetap jauh lebih longgar dari pada sebelum pandemi Covid.
“Kami memperkirakan tekanan inflasi akan meningkat pada tahun 2022,” imbuhnya.
Hal ini, kata Batara didorong oleh beberapa faktor seperti: 1) Normalisasi permintaan domestik, yang akan mengarah pada kebangkitan kembali inflasi jasa dan penguatan biaya yang dilewati oleh perusahaan, 2) Reformasi pajak, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai dan ekstensifikasi cukai, 3) Kemungkinan penyesuaian harga energi domestik dalam rangka melanjutkan reformasi subsidi energi.
“Meski demikian, kami menilai kondisi moneter masih relatif longgar yang ditandai dengan masih tingginya tingkat likuiditas perbankan. Suku bunga bank mungkin juga tetap mendekati rekor terendah di sebagian besar tahun 2022,” paparnya.
Meski begitu, Batara mengatakan kemajuan diversifikasi ekspor cukup menggembirakan. Tapi sayangnya BoP menghadapi tantangan dari neraca modal. Menurutnya peningkatan kapasitas di industri logam dasar telah menyebabkan peningkatan struktural yang signifikan dalam ekspor logam dalam dua tahun terakhir. Peningkatan ini kemungkinan akan berlanjut hingga tahun 2022 dan memberikan bantalan bagi neraca perdagangan ketika harga komoditas melemah dan permintaan domestik terkait dengan impor lepas landas.
“Kami memperkirakan saldo transaksi berjalan akan kembali ke defisit tetapi yang berada pada tingkat yang jauh lebih rendah dari sebelum pra-Covid. Selain itu, neraca pembayaran dapat ditantang di sisi arus modal dengan latar belakang pengetatan Fed. Kami tidak melihat taper tantrum, tetapi fundamental FX domestik secara keseluruhan mungkin akan lebih lemah vs 2021,” katanya.
Terakhir ia menjgungkapkan target pembiayaan anggaran resmi 2022 kemungkinan akan direvisi turun di 2022. Batara menjelaskan realisasi defisit fiskal 2021 dan 2022 kemungkinan akan melampaui tingkat yang ditargetkan 5,7% dan 4,85% dari PDB. Oleh karena itu, target resmi saat ini untuk pembiayaan pemerintah kemungkinan akan diturunkan pada 2022.
“Kami memproyeksikan bahwa likuiditas bank dalam negeri masih akan meningkat pada tahun 2022 dan investor domestik akan tetap menjadi pembeli bersih obligasi LCY. Yang mengatakan, dalam skenario arus masuk nol, BI mungkin masih harus menutupi kesenjangan pembiayaan dengan membeli obligasi LCY di luar kuota yang ditetapkan dalam program pembagian beban Agustus-2020-kecuali pemerintah menimbulkan kelebihan saldo pembiayaan yang sangat besar pada YE21 yang bisa menjadi dikerahkan pada tahun 2022,” tuntasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Nuzulia Nur Rahma
Editor: Alfi Dinilhaq
Tag Terkait: