Fakta Abraham Accords yang Bikin Indonesia Mempertimbangkan Damai dengan Israel, Ternyata Isinya...
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken baru saja bertandang ke Indonesia pada 14 Desember. Tak hanya disorot kedua negara bersangkutan, kunjungan ini juga menuai perhatian media Israel. Pasalnya, diwartakan kalau Indonesia sedang mempertimbangkan bergabung dengan Abraham Accords.
Abraham Accords sendiri merupakan suatu perjanjian untuk menarik negara Arab dan mayoritas Muslim agar mau mengakui dan menormalisasi hubungan dengan Israel. Diperantarai oleh AS, fakta-fakta apa sajakah yang tersembunyi di balik perjanjian ini?
Baca Juga: Duh, Benarkah Menlu Amerika Bujuk Normalisasi Indonesia-Israel di Jakarta?
Dihimpun AKURAT.CO dari berbagai sumber, ini 5 fakta penting Abraham Accords.
1. Bermula dari proposal perdamaian Donald Trump
Jauh sebelum Abraham Accords tercetus, pemerintahan Donald Trump menggegerkan dunia dengan mengumumkan proposal perdamaian Israel-Palestina pada 28 Januari 2020.
Dalam rencana ini, Israel bakal memperluas wilayahnya sekitar 30 persen dari Tepi Barat. Usulan ini sontak menuai reaksi dari berbagai negara, terutama Timur Tengah.
Pada 12 Juni 2020, Duta Besar Uni Emirat Arab (UEA) untuk AS, Yousef al-Otaiba, menulis opini untuk menghentikan rencana pencaplokan wilayah Tepi Barat oleh Israel. Opini ini ditujukan kepada publik Israel dan diterbitkan di halaman depan Yedioth Ahronoth.
Gedung Putih pun jadi gamang dan hal ini didiskusikan oleh penasihat presiden AS, Avi Berkowitz, dengan perdana menteri Israel saat itu, Benjamin Netanyahu. Dari hasil rapat tersebut, Berkowitz mengusulkan alternatif untuk mengganti aneksasi dengan normalisasi hubungan dengan Uni Emirat Arab (UEA).
Pada 2 Juli 2020, Berkowitz menemui Otaiba untuk membahas lebih lanjut rencana normalisasi ini. Berkat kepentingan bersama untuk menciptakan koalisi melawan kekuatan oposisi Iran, tercapai kesepakatan normalisasi pada Agustus 2020.
2. UEA dan Bahrain jadi pemrakarsa
Dengan tercapainya kesepakatan normalisasi, Israel setuju untuk menunda rencana pencaplokan di Tepi Barat. Beberapa jam setelah perjanjian ini diumumkan pada 13 Agustus, Bahrain menelepon AS dan menyatakan ingin bergabung.
Pada 11 September 2020, tercapai kesepakaran antara Trump, Netanyahu, dan Raja Bahrain Hamad bin Isa bin Salman al-Khalifa. UEA, Bahrain, dan Israel pun menandatangani Abraham Accords pada 15 September 2020 dengan disaksikan oleh AS di Gedung Putih.
Sejak itu, UEA dan Bahrain mengumumkan akan bekerja sama dengan Israel untuk menghadirkan front persatuan kepada AS tentang kesepakatan nuklir dan program rudal balistik Iran.
Bagi UEA, perjanjian ini tak sekadar mengarah pada hubungan diplomatik, tetapi juga pertukaran budaya dan kerja sama rakyat di kedua negara. Sejak Abraham Accords ditandatangani, 130 ribu warga Israel telah mengunjungi Dubai.
Perdagangan antara Israel dan UEA pun telah mencapai 1 miliar dirham UEA (Rp3,8 triliun). AS kemudian setuju untuk menjual pesawat tempur canggih F35 kepada UEA. Namun, langkah ini membuat Israel khawatir kalau peralatan tempur itu nantinya digunakan untuk menyerang Israel di masa depan.
Meski begitu, AS berhasil meyakinkan Israel dengan membantunya menyiapkan pertahanan negara yang mumpuni.
Sementara itu, Bahrain sudah lama menjalin hubungan yang tenang dengan Israel. Raja Bahrain pernah mengecam seruan boikot terhadap Israel pada 2017 oleh Liga Arab. Pada tahun 2020, Bahrain menjadi tuan rumah konferensi 'perdamaian untuk kemakmuran' yang dipimpin oleh pemerintah AS dan diboikot oleh para pemimpin Palestina.
Setelah Abraham Accords ditandatangani, Bahrain mengutus Khaled Yousif al-Jalahma sebagai duta besar pertama dari Bahrain untuk Israel pada 30 Maret.
3. Disusul Sudan dan Maroko
Pada 23 Oktober 2020, Sudan resmi menyetujui normalisasi hubungan dengan Israel dalam kesepakatan yang diperantarai AS. Sebagai imbalannya, AS setuju untuk menghapus Sudan dari daftar Negara Pendukung Terorisme, mencabut sanksi ekonomi, dan setuju mendiskusikan tentang pengampunan utang.
Sudan pun setuju untuk membayar USD 335 juta sebagai kompensasi kepada korban teror AS. Dalam unggahan Twitternya, Perdana Menteri Abdalla Hamdok berterima kasih kepada Trump yang menandatangani perintah eksekutif untuk menghapus Sudan dari daftar hitam negara teroris. Namun, ia tak menyebutkan kesepakatan dengan Israel.
Pada Januari 2021, Sudan menandatangani deklarasi tersebut, sedangkan AS menyelesaikan janji untuk menghapus negara itu dari daftar hitam negara teroris.
Negeri Paman Sam juga menegaskan kembali komitmennya untuk memberikan pinjaman perantara guna menghapus tunggakan Sudan ke Bank Dunia dan mengakses USD 1 miliar pendanaan tahunan. Pada 6 April 2021, Kabinet Sudan mencabut undang-undang tahun 1958 yang melarang hubungan diplomatik dan bisnis dengan Israel.
Sementara itu, Maroko menyetujui normalisasi hubungan dengan Israel pada bulan Desember 2020. Sebagai imbalannya, AS mengakui klaim Maroko atas Sahara Barat. Perjanjian ini pun menjadi salah satu faktor pecahnya hubungan antara Maroko dan Aljazair.
Pada 24 November 2021, Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz menandatangani perjanjian keamanan bersama dengan Menteri Pertahanan Maroko Abd al-Latif Lodi.
Inilah pertama kalinya Israel menandatangani perjanjian semacam itu secara terbuka dengan negara Arab. Dengan perjanjian ini, kerja sama keduanya di bidang pertahanan negara akan lebih lancar.
4. 'Perjuangan' Trump dilanjutkan oleh Joe Biden
Meski Donald Trump tak lagi berkuasa, perjuangannya tetap dilanjutkan oleh Joe Biden. Hal ini terbukti dari peresmian hubungan diplomatik Israel dan Kosovo pada 1 Februari.
Dalam upacara yang diadakan secara daring antara Yerusalem dan Pristina, Menteri Luar Negeri Israel Gabi Ashkenazi dan Menteri Luar Negeri Kosovo Meliza Haradinaj Stublla menandatangani deklarasi bersama untuk membangun hubungan.
Ashkenazi menyetujui permintaan resmi Kosovo untuk membuka kedutaan di Yerusalem. Sebagai imbalannya, negara mayoritas Muslim ini mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Tak sampai di situ, dalam pidato peringatan ulang tahun pertama Abraham Accords pada 17 September 2021, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken bertekad untuk mendorong lebih banyak negara agar menormalkan hubungan dengan Israel.
Ia menambahkan kalau pemerintah AS akan memperdalam hubungan lama Israel dengan Mesir dan Yordania. Keduanya telah menormalisasi hubungan dengan Israel pada 1979 dan 1994.
Sejumlah negara Arab dan Muslim lainnya, seperti Oman, Indonesia, dan Arab Saudi dirumorkan sedang mempertimbangkan normalisasi ini. Blinken pun mengklaim kalau normalisasi dengan Israel dapat menguntungkan Palestina.
5. Ditolak mentah-mentah oleh Indonesia
Media Israel baru-baru ini gencar memberitakan bahwa Blinken dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi membahas normalisasi hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel selama kunjungannya ke Jakarta pada 14 Desember. Blinken dilaporkan menyarankan agar Indonesia bergabung dengan Abraham Accords.
Pernyataan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah pada Jumat (24/12) membenarkan adanya pembahasan normalisasi hubungan dengan Israel.
Namun, usulan ini ditolak oleh Retno yang bersikeras bahwa Indonesia tetap konsisten dengan rakyat Palestina dan perjuangan mereka saat ini untuk pembentukan negara Palestina.
Bukan kali ini saja Indonesia dirayu untuk menormalisasi hubungan dengan Israel. Dalam wawancara dengan Bloomberg yang dimuat pada 22 Desember 2020, Adam Boehler, CEO Perusahaan Pengembangan Keuangan Internasional AS (DFC), mengatakan Indonesia bisa mendapatkan USD 1-2 miliar (Rp14-28 triliun) bantuan pembangunan asalkan mau bergabung dengan sejumlah negara Arab dan Muslim untuk mengakui Israel secara terbuka.
Itulah fakta penting Abraham Accords. Yakni perjanjian normalisasi hubungan dengan Israel yang telah ditandatangani beberapa negara mayoritas Muslim, seperti UEA, Bahrain, Sudan, Maroko, namun ditolak oleh Indonesia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: