Peneliti IPB University, Eka Intan Kumala Putri memaparkan terdapat empat kebijakan Uni Eropa yang mendiskriminasi sektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Pertama, kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II). Kebijakan yang muncul sejak 2018 ini berkonsentrasi pada penghentian biofuel pada 2030 yang menggunakan bahan baku yang memiliki resiko tinggi Indirect Land Use Change (ILUC).
Baca Juga: Langkah Penguatan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Indonesia
"ILUC menjadi kata kunci karena dianggap akan membawa dampak besar negatif konvensi tidak langsung lahan hutan menjadi sawit dan akan berkontribusi besar terhadap emisi karbon global," ujar Eka, dilansir dari laman Elaeis.co.
Kedua, kebijakan Due Diligence Policy. Kebijakan ini hadir pada Agustus 2020 lalu, yang mana Inggris membuka pemberlakukan due diligence terhadap tujuh komoditas pertanian Indonesia termasuk kelapa sawit. Melalui kebijakan ini, Inggris berharap adanya kepastian bahwa supply chain dan minyak kelapa sawit yang dijual di negaranya bebas dari deforestasi dan aktivitas ilegal lainnya.
Ketiga, kebijakan Green Deal Policy. Kebijakan ini berisi beragam inovatif terkait iklim, energi, transportasi, hingga pajak yang bertujuan untuk mereduksi emisi setidaknya 55 persen pada 2020. Bahkan termasuk pada pembatasan produk-produk yang dianggap berkontribusi terhadap deforestasi.
Keempat, kebijakan Farm to Fork (FTF) Strategi. Kebijakan ini merupakan cara yang diterapkan oleh Uni Eropa untuk mempercepat transisi ke sistem pangan berkelanjutan dan memastikan bahwa sistem pangan di Eropa berjalan adil, sehat, dan ramah lingkungan.
"Strategi ini mendorong konsumsi pangan yang memiliki dampak lingkungan yang netral atau positif, mendukung kemanan makanan, gizi dan kesehatan masyarakat bahkan juga sistem berkelanjutan," ungkap Eka.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Alfi Dinilhaq
Tag Terkait: