Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sambut Revisi Perka BPOM, JPKL: Melindungi Kesehatan Masyarakat adalah Prioritas Utama

Sambut Revisi Perka BPOM, JPKL: Melindungi Kesehatan Masyarakat adalah Prioritas Utama Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ketua Jurnalis Peduli Kesehatan dan Lingkungan (JPKL), Roso Daras menyambut gembira proses harmonisasi BPOM merevisi Peraturan Kepala BPOM No. 31/2018 di mana akan merencanakan pelabelan free BPA bagi kemasan plastik berbahan polycarbonat yang mengandung BPA. 

Roso menegaskan, langkah BPOM sangat tepat karena lebih memerhatikan masalah kesehatan ketimbang mementingkan keuntungan semata. “Itu artinya, BPOM telah selaras dengan tugas konstitusi,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Kamis (30/12/2021).

Baca Juga: BPOM Tak Libatkan BSN dalam Rencana Revisi Pelabelan Galon Polikarbonat

Ia menambahkan, kesehatan sebagai bagian dari hak asasi manusia dan merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana amanat Pembukaan UUD RI Tahun 1945. Perubahan Kedua UUD RI Tahun 1945 yang memuat jaminan konstitusional hak memperoleh pelayanan kesehatan sebagai salah satu hak asasi manusia.

Lebih spesifik, Roso Daras menunjuka pasal 1 point 1 (1) UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Bahwa kesehatan merupakan kondisi sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkin setiap orang produktif secara ekonomis. “Karena itu kesehatan merupakan dasar dari diakuinya derajat kemanusiaan,” tandasnya.

Baca Juga: Soal Pelabelan BPA, Kemenperin Risih Dibenturkan dengan BPOM

Di seluruh negara, pemerintah memperhatikan kesehatan warga lebih utama dibandingkan apa pun. Langkah BPOM menunjukkan peran sebagai badan pengawas benar-benar berfungsi. 

"JPKL mendukung keputusan BPOM yang akan merevisi Peraturan Kepala BPOM no 31/2018, serta mendukung pelaksanaan pelabelan pada kemasan plastik yang mengandung BPA. Keputusan ini akan menyelamatkan bayi Indonesia dari ancaman autisme, penyakit prostat, saraf, kelahiran prematur, kanker dan masih banyak lagi," tegas Roso.

Selaras dengan itu, Roso juga menyesalkan pernyataan salah seorang ketua asosiasi usaha AMDK yang mengatakan bahwa ini soal perang industri AMDK. Menurut Roso, itu pernyataan yang membabi buta. Banyak negara di dunia, sudah melarang atau mengatur ketat penggunaan kemasan plastik yang mengandung BPA untuk kemasan makanan dan minuman yang akan dikonsumsi oleh bayi, balita dan ibu hamil. “Kalau ingin industri AMDK maju, justru makin meningkatkan keamanan bagi konsumen, bukan mengorbankan konsumen demi industri, kesehatan tetap yang diutamakan,” sergahnya.

Sejak awal, tambahnya, JPKL menyampaikan kepada BPOM agar melabeli kemasan plastik yang yang mengandung BPA, supaya makanan dan minuman dalam kemasan tersebut tidak dikonsumsi oleh bayi, balita dan janin pada ibu hamil. Alasannya mereka kelompok usia rentan yang belum memiliki sistem imun memadai.

“Jadi tidak perlu mengganti kemasannya, cukup diberi label peringatan atau informasi. Sehingga kerugian sebesar Rp. 6 triliun untuk mengganti galon guna ulang yang mengandung BPA, seperti yang diklaim oleh salah satu ketua asosiasi AMDK tidak perlu dilakukan. Yang saya cermati, revisi perka BPOM yang mengatur kemasan ini bukan memaksa galon guna ulang harus hilang atau berhenti digunakan, sama halnya dengan label peringatan pada kemasan susu kental manis dan pada bungkus rokok. Adanya label peringatan tersebut, tetap saja tidak menyetop produksi," papar Roso Daras. 

Kekhawatiran akan limbah galon yang disampaikan oleh salah satu ketua asosiasi AMDK, juga ia nilai sebagai mengada-ada. "Seharusnya orang yang berpendapat begitu, memahami bahwa limbah plastik yang terjadi justru dari jenis lain, seperti AMDK dalam kemasan cup atau gelas dan kemasan lain yang bahan baku kemasannya sulit didaur ulang. Tak pernah ada limbah galon dan botol plastik yang terbuat dari PET. Seharusnya sebagai salah satu ketua asosiasi AMDK memahami dan tahu betul mengenai proses daur ulang dan circular economy yang berlangsung, bukan mengalihkan perhatian dari fokus kesehatan ke lingkungan, apalagi menyampaikan bahwa bahaya BPA adalah hoax, ini sungguh memalukan. Apa kata dunia?" tutur Roso Daras. 

Sementara menurut Guru Besar Departemen Teknik Kimia Universitas Diponegoro, Prof. Dr Andri Cahyo Kumoro, S.T., M.T. sempat memberi usul agar JPKL dan BPOM menunjuk salah satu laboratorium yang independen agar hasil penelitian tentang migrasi BPA lebih bisa diterima. 

Menurut Profesor Andri, Zat BPA memang berbahaya. Dan terjadinya pelecutan atau migrasi BPA itu dapat terjadi apabila terjadi pemanasan dan gesekan, potensi terjadinya pelecutan atau migrasi BPA ke air yang paling mungkin terjadi di kota besar. "Di kota besar siklusnya lebih cepat," ujarnya. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Bagikan Artikel: