Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Suara Politisi PKS Tegas: Substitusi LPG ke DME Jangan Sampai Membenankan APBN

Suara Politisi PKS Tegas: Substitusi LPG ke DME Jangan Sampai Membenankan APBN Kredit Foto: Instagram/Mulyanto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, minta Pemerintah menyiapkan skema produksi, distribusi dan mekanisme substitusi dimethyl ether (DME) ke liquid petrolium gas (LPG) secara cermat. Tujuannya agar proses substitusi LPG ke DME berjalan baik dan tidak membebankan APBN.

"Substitusi LPG dengan DME, sebagai hasil gasifikasi batubara adalah langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan kita pada impor LPG. Namun, Pemerintah harus menghitung secara cermat aspek keekonomiannya. Jangan sampai upaya ini malah membebani APBN kita," kata Mulyanto kepada media, Kamis, 27/1/2022.

Baca Juga: Orang PKS Wanti-Wanti Pemerintah soal Pemindahan Ibu Kota, Katanya Jangan Sampai...

Mulyanto menekankan pentingnya aspek keekonomian proses substitusi ini.  Dia berharap harga DME harus bersaing dengan harga LPG, termasuk juga juga dengan harga gas alam (LNG) atau kompor listrik. Karena kalau biaya produksi DME lebih mahal maka berpotensi membebani APBN.

"Sekarang ini , melalui UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja, untuk proyek hilirisasi minerba dikenakan royalti 0%. Artinya potensi penerimaan Negara dari proyek gasifikasi batu bara ini adalah “zero rupiah”.  

Ini kan semacam subsidi di “hulu”.  Kemudian nanti saat di hilir akan terjadi pengalihan subsidi pemerintah dari subsidi LPG 3 kilogram menjadi subsidi DME. Ini sudah double subsidi.

Kemudian, kalau harga DME lebih mahal dari harga LPG non-subsidi, maka akan muncul subsidi level ketiga (triple subsidi), yakni selisih antara harga DME dibanding LPG untuk produk non-subsidi.  Ini tentu tidak kita inginkan. Karenanya hitung-hitungan keekonomian proyek DME ini harus cermat," terang Mulyanto.

Mulyanto minta Pemerintah komitmen menyediakan energi murah bagi masyarakat. Jangan karena ada substitusi ini maka biaya hidup masyarakat menjadi lebih mahal. Karena itu Mulyanto menduga kenaikan harga LPG nonsubsidi akhir Desember 2021 merupakan bagian dari upaya Pemerintah mengkondisikan masyarakat agar dapat memaklumi harga jual DME yang relatif lebih mahal. 

"Akhir Desember 2021 harga LPG non-subsidi sudah dinaikkan terlebih dahulu oleh Pemerintah sebagai “pendahuluan”.  Ini kan terkesan sekedar akal-akalan untuk mengurangi gap antara harga DME dengan LPG.

Sebenarnya, opsi pengurangan konsumsi LPG impor bukan hanya melalui penggunaan DME. Opsi lain adalah melalui penggunaan jaringan gas rumah tangga (jargas) dan kompor listrik. 

Pemerintah harus mendalami betul opsi-opsi ini, agar harga energi benar-benar menguntungkan rakyat," tegas Mulyanto.

Seperti diketahui, proyek gasifikasi batu bara ini akan dibangun oleh PT Pertamina (Persero) dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang bekerjasama dengan dan Air Products & Chemical Inc (APCI).  

Proyek ini masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), dengan mendatangkan investasi asing dari APCI sebesar US$ 2,1 miliar atau setara Rp30 Triliun.  

Dengan utilisasi 6 juta ton batu bara per tahun, proyek ini dapat menghasilkan 1,4 juta DME per tahun untuk mengurangi impor LPG 1 juta ton per tahun atau setara dengan Rp7 triliun per tahun, sekitar sepuluh persen dari total impor LPG yang sekitar Rp80 triliun per tahun. 

"Sebenarnya kontribusinya tidak terlalu besar," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Alfi Dinilhaq

Bagikan Artikel: