Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kenaikan Cukai Rokok Yang Besar Mematikan IHT dan Merusak Pemulihan Ekonomi

Kenaikan Cukai Rokok Yang Besar Mematikan IHT dan Merusak Pemulihan Ekonomi Kredit Foto: Antara/Muhammad Bagus Khoirunas
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sikap pemerintah yang tetap ngotot  menaikan Harga Jual Eceran (HJE) dan cukai  rokok  pada masa resesi ekonomi dan pendemic Covid 19 kembali disesalkan berbagai pihak.  Kenaikan cukai rokok sebesar 12,5 persen tidak akan menurunkan prevalensi masyarakat merokok, tapi justru menutup kesempatan kerja di industri rokok karena banyak pabrik rokok yang akan mengurangi tenaga kerja. Sekaligus menyuburkan rokok illegal dan merugikan pemerintah sendiri.

“konsumsi rokok saat ini faktanya memang meningkat akan tetapi hal tersebut juga didorong oleh makin maraknya peredaran rokok illegal. Hal tersebut diakibatkan oleh peralihan para perokok dari rokok ber-merk kepada rokok illegal & Tingwe atau tembakau lintingan yang harganya jauh lebih ekonomis. Sementara rokok bermerek yang legal karena cukai rokok dan harga jual ecerannya dinaikan terus oleh pemerintah, menjadi semakin mahal,” papar Ketua Koalisi Tembakau, Bambang Elf kepada pers kemarin di Jakarta.

Lebih lanjut Bambang menjelaskan, pihaknya sudah  mengusulkan kepada pemerintah  untuk menurunkan cukai rokok  karena yakin dengan turunnya cukai rokok akan mengurangi produksi rokok illegal. Jika cukai rokok turun, rokok illegal juga akan turun, pemasukan negara dari cukai rokok justru akan meningkat. Nyatanya pemerintah lebih memilih menaikan cukai rokok, yang berakibat menaikan jumlah rokok illegal di pasaran dalam negeri yang jelas jelas merugikan negara.

Bambang juga menyesalkan, kenaikan cukai rokok yang tinggi kembali dilakukan pada saat pendemic Covid 19 masih belum hilang. Pendemic Covid 19 yang berimbas pada resesi ekonomi, menjadikan petani dan para pelaku industri hasil tembakau juga mengalami kesulitan ekonomi. Pemerintah pun mengalami kesulitan ekonomi karena dana  dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ) sebagian dihabiskan untuk penanganan Covid 19.

“ Sektor ekonomi nasional kan sedang hancur hancurnya. Menurut  saya kenaikan cukai tahun 2022 sebesar 12, 5 persen ini  sangat eksesif. Di tahun 2020 ada kenaikan cukai yang sangat tinggi pada saat kita sedang dihantam pandemic Covid 19.  Tahun 2021 kembali ada kenaikan cukai rokok yang sangat tinggi. Harusnya kenaikannya bisa ditekan, karena sampai saat ini proses recovery ekonomi karena pendemic covid 19  belum pulih,” tegas Bambang.

Lebih lanjut Bambang juga berpendapat, kenaikan cukai rokok ini berpotensi punya pengaruh negative terhadap sektor ketenaga kerjaanterutama di sektor industri hasil tembakau (IHT).  Namun karena keputusan kenaikan cukai sudah diambil pemerintah,  pihaknya hanya bisa menuruti keputusan pemerintah.

“Dari sisi buruh atau ketenagakerjaan, kenaikan cukai rokok yang sangat besar  ini berpotensi akan jadi masalah dengan kemungkinan pemutusan hubungan kerja  atau PHK oleh pihak produsen IHT karena pengaruh berkurangnya volume penjualan. Tinggal kita melihat kedepannya, Apabila benar benar mengakibatkan pengurangan tenaga kerja  atau  PHK, maka tahun 2023 pemerintah harus memberikan kompensasi dengan tidak menaikkan cukai rokok,  agar IHT tetap bertahan,” tegas Bambang.

Pendapat yang sama disampaikan  pengamat kebijakan publik yang juga direktur Public Trust Institute (PTI), Hilmi Rahman Ibrahim.  Menurut Hilmi, Kebijakan yang diambil pemerintah dengan menaikan cukai rokok yang cukup tinggi pada saat ekonomi Indonesia sedang mengalami resesi adalah hal yang salah. Harusnya pada saat kita mengalami resesi ekonomi, kebijakan yang diambil adalah kebijakan yang mendorong pemulihan ekonomi bukan justru memberatkan sektor ekonomi.

“kita tidak boleh menutup mata, Industri hasil tembakau nasional kita menyerap jutaan tenaga kerja, menggerakan sektor ekonomi. Sediki banyak, industri hasil tembakau membantu pemulihan ekonomi dengan menggerakan sektor ekonomi ril. Kalau kemudian, pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikan cukai 12,5 persen dan menaikan harga jual eceran,  itu memberatkan bahkan dapat mematikan industri hasil tembakau, Padahal Industri hasil tembakau justru membantu pemerintah melakukan pemulihan ekonomi,” tegas Hilmi Rahman Ibrahim.

Dosen tetap di Universitas Nasional (Unas)  Jakarta ini menegaskan, apa yang dilakukan kementerian keuangan dengan menaikan cukai rokok sebesar 12, 5 persen hampir setiap tahun sekaligus menaikan HJE rokok bukan untuk menurunkan prevalensi masyarakat merokok. Tapi mendapatkan pemasukan keuangan yang lebih besar dari sektor IHT. Tujuan atau alasan prevalensi hanya dicari cari, untuk menutupi maksud yang sebenarnya.

“Tidak fair jika alasannya menurunkan prevalensi masyarakat merokok, tapi pemerintah sendiri menikmati uang dari hasil industri rokok itu sendiri. Kalau kementrian Keuangan menaikan cukai rokok 12,5 persen itu berarti pemerintah menikmati uang dari rokok. Tidak fair disatu sisi meneriakan melindungi masyarakat dari rokok tapi di sisi lain pemerintah sendiri mengambil keuntungan dari industri rokok,” tegas  Hilmi Rahman Ibrahim.

Lebih lanjut, Hilmi menjelaskan, jika pemerintah benar benar ingin menurunkan prevalensi masyarakat merokok, harus dilakukan sosialisasi secara benar dan teratur sejak anak usia dini agar di kemudian hari tidak merokok. Kenyataannya tidak. Pemerintah membiarkan masyarakat merokok. Tidak ada sosialisasi pencegahan anak merokok yang dilakukan secara benar dan baik termasuk di sekolah. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Bagikan Artikel: