Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pivot atau Mati: Masa Depan Ritel adalah Hybrid

Oleh: Shantanu Bhattacharya, Manajemen Operasional di Singapore Management University

Pivot atau Mati: Masa Depan Ritel adalah Hybrid Kredit Foto: Unsplash/Peter Bond
Warta Ekonomi, Jakarta -

Coba tanya masyarakat Indonesia manapun bagaimana mereka saat ini berbelanja. Jawabannya hampir pasti: "Saya berbelanja online." Dengan jumlah penggna internet melebihi 200 juta penduduk, yang kebanyakan di smartphone, Indonesia adalah negara ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara.

Penetrasi internet, kelas menengah yang tumbuh pesat dan pasar konsumen yang dinamis, telah menjadi pendorong pasar e-commerce di Indonesia, yang diperkirakan akan bernilai US$32 miliar secara gross market value (GMV) di tahun 2020. Google, Bain, dan Temasek memperkirakan, e-commerce bisa tumbuh menjadi US$83 miliar pada tahun 2025 mendatang; memosisikan Indonesia sebagai pasar e-commerce terbesar di Asia Tenggara.

Baca Juga: Selamat! Shopee Juarai Persaingan E-commerce di Indonesia

Dengan pertumbuhan platform online yang pesat seperti Tokopedia, Bukalapak, BliBli, Shopee, dan banyak lainnya, apakah e-commerce akan menjadi masa depan ritel di Indonesia? Apakah artinya era ritel fisik atau brick and mortar sudah berakhir?

Meskipun belum ada tren jelas yang muncul, kepastian akan pendekatan hybrid kian meningkat secara global di mana brick and mortar akan menjadi suplemen bagi toko online. Hal ini sudah terjadi di China di mana Alibaba dan JD.com mempunyai superstores dan dengan NTUC di Singapura.

NTUC, misalnya, mempunyai model yang menggabungkan toko ritel dengan penjaga pintu atau concierge yang juga melayani pelanggan online. Model hybrid adalah masa depan ritel dan memberikan model pertumbuhan baru bagi ritel secara global.

Akan tetapi, agar model hybrid sukses, peritel perlu mengadopsi data analytics, AI, dan teknologi lainnya agar bisa memahami perilaku pelanggan dan menyesuaikan stratgei pemasaran dan penjualan mereka.

Dengan menggunakan platform media sosial seperti TikTok dan Instagram atau bahkan live streaming, peritel bisa memperluas jangkauan pasar mereka. Saat ini iklan di koran atau website saja tidak cukup. Dengan pelanggan dari generasi millennials dan Z, kuncinya adalah personalisasi dan rekomendasi dari peers mereka.

Kunci sukses bagi peritel adalah kemampuan untuk men-deliver dengan cepat. Di China dan Amerika Serikat, kebanyakan peritel online menjanjikan waktu pengantaran barang selama 2 jam saja, yang menambah beban sistem logistik mereka sendiri. Hal ini juga memaksa peritel untuk mengubah model delivery mereka dengan cara membangun toko yang dekat dengan pelanggan mereka.

Saat ini perusahaan membutuhkan derajat fleksibilitas yang jauh lebih tinggi dan harus membuat rantai pasok lebih mampu memproduksi dalam batch yang lebih kecil. Proximity atau kedekatan antara rantai pasok dan pasar lokal makin penting.

Kebanyakan dari rantai pasok yang responsif ini merupakan kebalikan dari skala ekonomi: mereka berbasis proximity ke pasar lokal. Hal tersebut meningkatkan biaya pengolahan karena Anda tidak memiliki skala lagi. Namun, di sisi lain ini memberikan keuntungan yang sangat besar dalam hal mempertemukan supply dan demand. Untuk itu, agar tidak sia-sia, Anda harus menjalankan sistem yang lincah.

Secara substansi, dunia ritel telah berpindah dari "membuat untuk persediaan menjadi membuat untuk pesanan". Ini berarti peritel akan membutuhkan toko yang jauh lebih kecil, tetapi dengan gudang yang lebih luas. Ini juga berarti mereka harus memiliki waktu pengantaran super cepat. Ini artinya mereka harus menyediakan lebih banyak sumber daya pada kehadiran online mereka dan mengembangkan aplikasi yang mudah digunakan.

Dengan pertumbuhan e-commerce, garis antara toko ritel dan perusahaan logistik juga makin semu. Merger antara Tokopedia dan Gojek untuk menciptakan GoTo menciptakan preseden bagi pemain ritel lainnya di Indonesia. Gojek tidak memiliki kemampuan untuk bersaing di ritel, tetapi superior last mile delivery. Tokopedia, di sisi lain, merupakan platform e-commerce terdepan yang tidak memiliki pengalaman di last mile delivery.

Merger antara dua raksasa teknologi ini merupakan contoh yang tepat bagaimana pemain ritel akan bertransformasi ke depannya. Mereka bisa bersaing untuk pelanggan, tetapi kolaborasi dalam rantai pasok akan menciptakan efisiensi yang lebib besar.

Model ini pertama kali muncul di sektor aviasi atau penerbangan dengan terbentuknya aliansi dengan masing-maisng maskapai bersaing dalam memperebutkan pelanggan, tetapi secara bersamaan berkolaborasi dalam hal rute penerbangan sehingga mereka pada akhirnya bisa menawarkan pilihan yang luas kepada pelanggan mereka. Model ini sekarang sudah menyebar ke industri pengiriman di mana mereka berkolaborasi dalam menawarkan pilihan transportasi yang lebih luas ke klien mereka.

Dengan makin banyaknya negara lain yang mulai mengendorkan larangan mobilitas selama pandemi, pertanyaan yang lebih besar adalah akankah pelanggan kembali ke toko atau akankah mereka tetap berbelanja online?

Dengan makin banyaknya ritel menggunakan teknologi dan bisnis berbasis cloud untuk terus beradaptasi di tengah persaingan dan perilaku pelanggan yang terus berubah, industri perlu melakukan pivoting dari berfokus kepada penjualan kepada memperkaya pengalaman pelanggan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: