Masih Mau Konsumsi Produk dengan Kemasan Tanpa Label Bebas Zat BPA?
Penggunaan Data Usang
Roso Daras juga menegaskan bahwa apa yang disampaikan guru besar bidang pangan tidak update.
"Di negara-negara maju sudah tidak menggunakan kemasan polycarbonat lagi. Karena dilarang menggunakan kemasan yang mengandung BPA. Siapa bilang di luar negeri tidak ada Pelabelan? Justru wajib ada Pelabelan bahwa plastik yang digunakan sudah free BPA," tandas Roso Daras.
Baca Juga: Benarkah Penggunaan Galon Guna Ulang Dapat Berpengaruh Pada Kesuburan?
Ia juga menambahkan, apa yang disampaikan guru besar itu menggunakan data yang lama. Sebagai guru besar harusnya mengikuti perkembangan dunia dan peraturan soal pangan dunia.
Batas toleransi 0,6 bpj memang peraturan yang dikeluarkan oleh BPOM. Dan JPKL pada mulanya menginisiasi agar isi kemasan tersebut tidak dikonsumsi bayi, balita dan ibu hamil. Sebab mereka kelompok usia rentan terhadap paparan BPA. Mereka harus mengkonsumsi makan dan minum dari wadah yang free BPA.
Dan JPKL kemudian menunjuk salah satu laboratorium untuk meneliti migrasi BPA pada galon guna ulang. Ternyata hasilnya jauh di atas ambang batas. Dengan hasil rata-rata 2-4 bpj.
Penelitian ini diperkuat lagi oleh rilis BPOM yang dimuat di media-media nasional yang telah melakukan penelitian dengan sampel lebih besar dan jangkauan lebih luas, yaitu Indonesia di tahun 2021 - 2022. Hasilnya malah lebih mengerikan, karena telag masuk kategori sangat membahayakan, sehingga perlu dilakukan pelabelan.
"Harusnya semua pihak kalau untuk kesehatan anak harus dijadikan pertimbangan utama. Jangan sampai atas nama industri harus mengorbankan masa depan Indonesia karena anak-anak terkontaminasi BPA, " tegas Roso Daras.
Roso juga menegaskan siap mengawal dan mendukung BPOM dalam harmonisasi Perubahan Peraturan BPOM No 31 tahun 2018 Tentang Label Pangan Olahan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Adrial Akbar