Tantangan Implementasi Peningkatan Akes dan Ketersediaan Obat di Masa Pandemi
Adanya perubahan sistem negosiasi oleh penyedia layanan kesehatan menciptakan sejumlah tantangan dan implikasi, khususnya pada prinsip akuntabilitas dan transparansi selama kegiatan pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah.
Pertama, saat ini terjadi multitafsir tentang implementasi regulasi, yaitu pemahaman antara “Harga Eceran Tertinggi/HET” dengan “Harga Perkiraan Sendiri/HPS” dalam sistem pengadaan obat di e-katalog digunakan secara bersamaan, sehingga memunculkan pengertian yang berbeda mengenai penetapan harga obat dalam katalog obat.
“Padahal, obat merupakan komoditas kemanusiaan yang strategis guna peningkatan kualitas kesehatan masyarakat secara umum, artinya tidak dapat disamakan dengan barang dan jasa lainnya, contohnya infrastruktur dan perbankan. Seyogianya, aplikasi kebijakan pengadaan barang dan jasa dapat menyediakan syarat khusus dan pengecualian bagi obat karena dapat berdampak secara langsung bagi kualitas pembangunan manusia bahkan nyawa dari segi pengaturan,” tulis Banarsono.
Kedua, dalam implementasinya, Perpres No 12 / 2021 memunculkan tantangan dengan kebijakan dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP), sebagai institusi yang memiliki otoritas dalam mengelola e-katalog pemerintah.
Dalam kebijakan LKPP, disebutkan bahwa Harga Eceran Tertinggi (HET) akan menciptakan perbedaan harga dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang mana adalah acuan satuan kerja dalam melakukan negosiasi dengan penyedia di e-katalog.
Dengan demikian, akan tercipta ketidakpastian bagi kedua belah pihak – satuan kerja pelayanan kesehatan dan perusahaan farmasi, yang memengaruhi proses pengadaan obat.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: