Rencana pemerintah untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060 akan menjadi tantangan sendiri bagi PT PLN (Persero) yang merupakan satu-satunya penyuplai energi di Indonesia.
Tantangan tersebut tidak terlepas dari sumbangan sektor energi yang merupakan kontributor perubahan iklim yang paling dominan, yang menyumbang hampir 90 persen dari emisi CO2 secara global.
Selain itu, kondisi suplai energi nasional dari PLN saat ini lebih dari setengahnya disumbangkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dengan tingkat pengeluarj CO2 yang cukup besar.
Baca Juga: Rencana Net Zero Emission 2060 Bakal Jadi Dilema Untuk PLN
Tuntutan kepada PLN untuk mengonversi PLTU batu bara menjadi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dirasa tidak akan mudah tercapai akibat besarnya biaya yang dibutuhkan untuk dapat beralih ke energi hijau.
Direktur Perencanaan Korporat PLN Evy Haryadi mengatakan perseroan membutuhkan investasi hingga 600 miliar dolar AS untuk dapat mencapai NZE 2060. Untuk itu, perlu adanya trade off guna melakukan transisi energi demi mencapai NZE.
"Dibutuhkan suatu kapasitas daya yang cukup besar di 2060 yang membutuhkan biaya investasi yang cukup besar. Kalau kami memperkirakan akan mencapai 500 sampai 600 miliar dolar AS," ujar Evy dalam diskusi virtual yang dikutip Selasa (8/2/2022).
Evy mengatakan dalam waktu terkini rencana NZE 2060 sudah tertera dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN 2021–2030 telah ditetapkan kebutuhan pembangkit listrik tenaga EBT base load sebesar 1,1 gigawatt (GW).
Sebagaimana diketahui pembangkit listrik tenaga EBT base load tersebut merupakan pembangkit listrik energi terbarukan yang mampu menggantikan pembangkit fosil dengan biaya pokok produksi (BPP) lebih murah, dan dapat beroperasi selama 24 jam.
Apabila pemerintah menggunakan pembangkit intermiten, seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), maka diperlukan Battery Energy Storage System (BESS) untuk memastikan daya listrik terus mengalir selama 24 jam.
“Tantangannya bagaimana kita bisa mengganti energi fosil seharga 6–8 sen Dolar AS per kWh dengan energi PLTS + BESS sekitar 18–21 sen Dolar AS per kWh,” ujarnya.
Melihat selisih harga yang cukup besar, Evy mengatakan perlu adanya inovasi teknologi agar harga PLTS BESS dapat bersaing dengan PLTU pada kisaran 6-8 sen dolar AS per kWh.
Untuk mengejar hal tersebut, saat ini PLN sedang mengkaji sejumlah teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik.
Perlahan, harga teknologi di pasar global juga terus mengalami penurunan, mulai dari carbon capture and storage hingga hidrogen.“Diharapkan teknologi ini semakin murah diimplementasikan dalam sistem. Hal lain bagaimana mendorong tumbuhnya beban baru terkait pemanfaatan energi listrik," tutupnya.
Peralihan Energi
Evy mengatakan, saat ini perseroan tengah gencar mengubah pembangkit fosil ke pembangkit Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Salah satunya yang dilakukan dengan mengonversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dengan pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Namun, untuk mencapai hal itu PLN masih menghadapi beberapa tantangan dalam mengubah pembangkit fosil tersebut salah satunya adalah kebutuhan baterai. Untuk menjawab tantangan itu, PLN sedang membuka lelang untuk pergantian PLTD ke PLTS beserta baterai untuk wilayah remote dan mengutamakan investor yang bisa menyuguhkan listrik berbasis EBT namun murah.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti