Sinyal bahaya datang dari Lebak, di mana tahu tempe terancam hilang di wilayah Banten.
Hal tersebut dipastikan usai ratusan perajin tahu tempe di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten siap menghentikan produksi sementara selama tiga hari ke depan mulai Senin sampai Rabu (21-23/2).
Diketahui, tindakan tersebut dilakukan sebagai bentuk protes karena harga kedelai impor di pasaran masih tinggi.
"Kita sepakat menerima keputusan Puskopti Jakarta untuk melakukan mogok produksi agar pemerintah dapat menstabilkan kembali harga kedelai di pasaran," kata Mad Soleh (55), perajin tahu di Rangkasbitung Kabupaten Lebak, Minggu (20/2) kemarin.
Aksi mogok produksi tahu tempe secara serentak itu dilakukan di wilayah Jakarta, Jawa Barat dan Banten selama tiga hari ke depan.
Saat ini, harga kedelai impor di pasaran masih tinggi dengan kisaran antara Rp570 ribu sampai Rp600 ribu per 50 kg, padahal sebelumnya Rp300 ribu per kg.
Kenaikan harga kedelai itu tentu membuat pendapatan perajin tahu tempe terpuruk dan terancam gulung tikar.
Bahkan, dirinya kini menjual rugi dan bukan menjual untung, karena memenuhi permintaan pelanggannya yang pedagang bakul.
"Kami berharap melalui aksi mogok itu dapat kembali harga kedelai normal," katanya.
Begitu pula Sutari (45) warga Rangkasbitung Kabupaten Lebak, mengatakan dia mendukung aksi mogok yang dilakukan perajin tahu tempe agar mendapatkan perhatian pemerintah karena hingga saat ini harga kedelai masih tinggi.
Bahkan, hampir setiap hari harga kedelai impor di pasaran melonjak, sehingga perajin tempe terancam gulung tikar.
"Kami sendiri kini berjualan tempe merugi akibat tingginya harga kedelai," tambahnya.
Sementara itu, Ketua Perajin Tahu Tempe Kabupaten Lebak Liri (60) mengatakan sekitar 450 perajin tahu tempe di daerah ini menghentikan kegiatan produksi selama tiga hari ke depan mulai 21 sampai 23 Februari 2022.
Tuntutan para perajin tahu tempe agar harga kedelai kembali normal, sehingga produksi berjalan dan bisa meraup keuntungan.
"Kami minta harga kedelai diberikan subsidi oleh pemerintah seperti tahun 1980-an itu," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: