Tidak ada situasi darurat atau kegentingan yang menjadi alasan bagi amandemen konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Hal ini diungkapkan Saiful Mujani dalam program Bedah Politik bertajuk “Amandemen untuk Penundaan Pemilu” yang tayang melalui kanal Youtube SMRC TV pada Kamis, 10 Maret 2022.
Menurut Pendiri SMRC ini, amandemen untuk mengubah batas dan periodeisasi masa berkuasa bisa dilakukan, asal syaratnya dipenuhi, yakni keadaan darurat atau genting. Pertanyaannya, apakah sekarang Indonesia dalam keadaan genting sehingga membutuhkan satu keberlangsungan dari eksekutif tanpa melalui pemilu?.
Baca Juga: Ketua PSI DKI Soal Amandemen Konstitusi: Masa Jabatan Presiden Bukan Situasi Mendesak
Saiful menilai pandemi dan kondisi ekonomi sekarang tidak cukup kuat untuk dijadikan alasan bahwa kita sedang dalam kondisi genting.
“Sekarang ada pandemi, tapi pandemi ini bukan hanya di Indonesia, ini adalah gejala global dan sekarang sudah relatif membaik. Ekonomi juga rusak, tapi itu juga gejala global. Dan negara-negara lain di dunia tidak mengubah konstitusinya dengan alasan-alasan itu,” kata Saiful.
Lebih jauh, Ilmuwan politik ini menjelaskan bahwa amandemen bisa dilakukan asal syarat-syarat kegentingannya dipenuhi, misalnya dalam kondisi perang seperti Ukraina dan Rusia. Namun hal itu tidak terjadi di Indonesia. Memang kadang ada kondisi instabilitas, tapi, menurutnya, itu terjadi di tingkat lokal, bukan fenomena nasional.
Saiful melanjutkan bahwa syarat apakah boleh amandemen atau tidak tergantung pada bacaan sosiologis dan politik atas situasi krisis.
Saiful menjelaskan bahwa dalam beberapa hal, amandemen konstitusi itu seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Perppu dikeluarkan sangat tergantung pada presiden atau pemerintah mendefinisikan situasi. Itu genting atau tidak genting. Misalnya seperti kasus pemilihan kepala daerah yang dibuat oleh DPR pada masa pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono.
Ketika itu, kata Saiful, disepakati agar pilkada dilakukan secara tidak langsung, dipilih oleh DPRD. Sudah menjadi undang-undang. Tapi Presiden Susilo Bambang-Yudhoyono menilai hal itu merusak fundamen demokrasi Indonesia, karena itu adalah bagian dari amanat reformasi. Lalu dia mengeluarkan Perppu untuk membatalkannya. Dan DPR menerima hingga Perppu itu menjadi undang-undang.
“Amandemen bisa dilakukan dengan terlebih dahulu mendefinisikan sendiri tingkat kegentingan itu,” tegasnya.
Guru besar ilmu politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ini menjelaskan bahwa secara prosedural, yang akan memutuskan tentang amandemen atau tidak adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
“Terlepas dari syarat kegentingannya, kalau dipaksakan, amandemen bisa saja terjadi,” kata Saiful.
Kalau mau melakukan amandemen, apakah itu mungkin atau tidak? Kekuatan peta politik di MPR seperti apa?.
Saiful menjelaskan bahwa syarat normatif untuk melakukan amandemen sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Dasar adalah harus diajukan secara tertulis dengan alasan oleh minimal 1/3 anggota MPR atau sebanyak 237 anggota MPR. Lalu disepakati (untuk dibahas) oleh minimal 2/3 anggota MPR. Dan keputusan amandemen harus didukung oleh mayoritas mutlak atau 50 persen plus 1 anggota MPR.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Alfi Dinilhaq
Tag Terkait: