Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tak Takut Ombak Besar, CEO Akulaku Finance Sambut Baik Pesaing Baru

Tak Takut Ombak Besar, CEO Akulaku Finance Sambut Baik Pesaing Baru Kredit Foto: Akulaku
Warta Ekonomi, Jakarta -

Di masa pandemi Covid-19 ini, digitalisasi pembiayaan semakin banyak digunakan oleh masyarakat. Pembayaran cicilan skema bayar tunda atau buy now pay later (BNPL) menjadi salah satu industri yang kian tumbuh sejak pandemi covid-19 melanda, khususnya di Indonesia. 

BNPL memungkinkan pelanggan membeli barang dan jasa secara online atau offline dan membayar belakang dalam batas waktu tertentu. Jika pembayarannya melewati batas waktu yang ditentukan, biasanya dikenakan denda dengan sistem kelipatan bunga.

Pertumbuhan yang luar biasa itu juga dipengaruhi oleh perdagangan elektronik alias e-commerce. Tak bisa lagi dinafikkan dalam kehidupan sehari-hari, trennya berkembang dengan berbagai bentuk layanan, seperti halnya pay later.

 Baca Juga: Dana Tumbuh Lebih dari 150 Persen, CEO Vincent Iswara Bongkar Rahasianya!

Salah satunya adalah PT Akulaku Finance Indonesia yang telah memberikan layanan pembiayaan digital atau yang sekarang kerap dikenal sebagai buy now pay later.

Akulaku Finance sendiri dikenal dengan menawarkan layanan pembiayaan untuk berbelanja secara online melalui berbagai platform e-commerce besar di Indonesia. Terlebih lagi, Akulaku Finance telah menerapkan konsep Contactless, Paperless, dan Cashless untuk membantu pemerintah dalam menurunkan kasus Covid-19 di Indonesia.

Lantas bagaimana perjalanan PT Akulaku Finance dalam mengenalkan inovasi pembayaran pay later di Indonesia beberapa tahun belakangan ini? Berikut adalah kutipan wawancara antara Efrinal Sinaga selaku Presiden Direktur Akulaku Finance Indonesia dengan tim Warta Ekonomi, Selasa (22/03).

Akulaku sudah menjadi bagian finansial teknologi di Indonesia karena kehadirannya yang sudah banyak membantu masyarakat Indonesia. Dalam perjalanannya, hal menarik atau tantangan apa yang Anda alami saat menjadi CEO? 

Ya, jadi tantangan yang kami alami selama ini bahwa kami harus samakan dulu pendapat bahwa Akulaku ini masih balita ya, atau mungkin baru lima tahunlah gitu, jadi startup yang masih sangat baru, di mana tentunya dengan konsep yang dibawa ke Indonesia adalah sesuatu yang baru, yang akhirnya sekarang ini kita lihat menjadi suatu tren dan membawa tantangan.

Pertama, adalah bagaimana kami bisa melakukan seluruh bisnis proses melalui operasional dengan profesional beriringan dengan peraturan. Sebagai multifinance, kami diatur oleh OJK dengan sejumlah peraturan OJK dan sementara karyawan kami sebagian besarnya mungkin masih sekitar 30-an. Jadi mereka masih sangat muda, masih sangat fresh, dan mungkin less experience terutama di multifinance sehingga penafsiran yang dilaksanakan dalam menjalankan bisnis mungkin ada beberapa yang tidak sesuai dengan peraturan OJK.

Ini menjadi suatu isu dan tantangan di awal-awal karena butuh edukasi, butuh sosialisasi, butuh juga pengajaran, atau sering yang dipikirkan oleh tim yang ada di Akulaku bahwa bagaimana sebenarnya yang dimaksud dengan multifinance, bagaimana di industri ini timnya dilaksanakan, bagaimana juga itu dibukukan. Nah itu yang sebenarnya tantangan paling besar di awal-awal dan alhamdulillah kami bisa lalui dengan baik. Dengan otoritas juga kami bisa berjalan bergandengan dan harmonislah.

Kemudian yang kedua adalah balik lagi bahwa tantangan yang juga kami cukup hadapi sekarang karena ini adalah era digital dan berkenaan juga dengan pada saat itu dengan munculnya Covid, Desember 2019 atau Maret 2020. Ini semuanya beralih menjadi digital, persoalannya adalah tantangannya, masyarakat masih belum banyak yang cakap digital, tapi mau tidak mau mereka dipaksa untuk bertransaksi secara digital karena dengan sejumlah pembatasan, sehingga membuat masyarakat menjaga jarak, kemudian juga semuanya serba belanja online, dan lain-lain, tapi menggunakan sarana media. 

Digital ini belum semuanya cakap. Jadi kalau kami lihat apalagi ditambah dengan data yang menunjukkan bahwa tingkat inklusi keuangan kita sudah 76% tetapi tingkat literasi baru 38%, artinya gap-nya masih besar sekali. Itu menunjukkan bahwa masyarakat cuma bisa menggunakan fasilitas tapi kadang-kadang yang dipakai, yang digunakan Jasa Keuangan mereka tidak begitu paham, setengahnya tidak begitu paham.

Jadi, masalah cakap digital menjadi salah satu kendala yang kami hadapi sehingga akhirnya ini digunakan oleh oknum-oknum untuk melakukan prosedur yang nakal, bukan hanya di e-commerce, tapi juga di banyak perusahaan atau perbankan misalnya yang menggunakan cara ini. Digital juga sering dijadikan ladang kejahatan oleh oknum-oknum ini.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Nuzulia Nur Rahma
Editor: Rosmayanti

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: