Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pengamat Energi: Kenaikan Harga BBM Punya Dampak Berbeda di Tengah Masyarakat

Pengamat Energi: Kenaikan Harga BBM Punya Dampak Berbeda di Tengah Masyarakat Kredit Foto: Antara/Reno Esnir
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pengamat Energi Ugan Gandar mengatakan, kenaikan harga Pertamax mempunyai dampak yang berbeda di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, Pertamina dan Badan Pengatur Perminyakan Hilir (BPH Migas) diharapkan dapat mengantisipasi penerapan kebijakan itu dan mampu memitigasinya.

Jelas Ugan, masih belum adanya sistem yang terukur membuat naiknya harga Pertamax dengan kenaikan harga minyak goreng yang sempat langka memiliki dampak berbeda. Kenaikan harga minyak goreng sangat berdampak terhadap kehidupan seluruh lapisan masyarakat.

Baca Juga: Harga BBM Pertamina Termurah di Dunia Meski Alami Kenaikan Harga, Pengamat: Kebijakan Sudah Tepat

"Saya juga berharap stok Pertalite dan Biosolar harus terjaga, semua harus terencana dengan baik dan terstruktur," kata Ugan Gandar, pengamat energi yang juga mantan pegawai Pertamina ini, kepada Warta Ekonomi, Senin (11/4).

Ugan menambahkan, porsi penjualan Pertamax pada tahun 2021 relatif kecil hanya sekitar 13-16% dari total konsumsi BBM di Indonesia. Jikalau pun ada sedikit antrean, itu terjadi hanya sebentar karena kondisi psikologis panic buying masyarakat.

"Saya yakin konsumen setia akan kembali mengonsumsi Pertamax karena yang diutamakan itu adalah menjaga kualitas mesin kendaraannya untuk jangka panjang," pungkasnya.

Di sisi lain, kata dia, jika dibandingkan dengan harga dunia ataupun di Asia, harga BBM di Indonesia paling rendah karena pemerintah masih memberikan subsidi. "Walaupun tidak bisa dibandingkan apple to apple karena banyak variabel yang berpengaruh, seperti wilayah dan sistem pendistribusian BBM," tuturnya.

Ia juga mengingatkan kepada para konsumen Pertamax, sebelum harga naik, tanpa disadari selama ini mereka telah mendapat subsidi dari Pertamina karena Pertamax sebagai Jenis Bahan Bakar Umum (JBU) atau nonsubsidi masih dijual di bawah harga keekonomian.

"Besaran subsidi dari Pertamina ini kurang lebih senilai Rp3.500 per liter. Jika pengguna kendaraan yang tergolong mewah lebih dari 3 juta penduduk di Indonesia, bisa dibayangkan berapa besar biaya selisih harga keekonomian yang ditanggung oleh Pertamina?" ungkap Ugan.

Sementara itu, untuk BBM Jenis Bahan Bakar Tertentu (JBT) atau subsidi Biosolar yang disubsidi oleh pemerintah sekitar Rp7.800 per liter, seharusnya JBT ini betul-betul selektif dapat digunakan untuk masyarakat kelas menengah ke bawah ataupun sesuai peruntukannya.

"Untuk menjaga distribusi solar bersubsidi dalam kisaran target, pengawasan sampai ke tingkat konsumen akhir oleh tim pemerintah yang terlatih karena perbedaan harga solar yang begitu besar dibandingkan dengan bahan bakar berkualitas lebih tinggi," ungkapnya.

Adapun, ada kemungkinan besar bahan bakar bersubsidi ini akan dikonsumsi oleh mereka yang tidak memiliki akses terhadapnya sehingga kondisi ini mengakibatkan di beberapa daerah terjadi kelangkaan solar.

"Saat ini, khususnya di Jakarta, sekitar 10% konsumen Pertamax telah beralih ke Pertalite. Artinya Pertamina disubsidi karena harga Pertamax belum naik, kemudian disubsidi oleh pemerintah, karena Pertalite adalah Bahan Bakar Khusus (JBKP) dengan subsidi sekitar Rp4.000/liter," imbuh Ugan.

Sebagai tambahan informasi, kenaikan harga harga bahan bakar minyak (BBM) dan liquefied petroleum gas (LPG) dipicu dari Perang Rusia dan Ukraina sehingga berpengaruh signifikan dan mengakibatkan berkurangnya suplai minyak dan gas.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ratih Widihastuti Ayu
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: