Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Hukuman Mati Selayaknya Jadi Momok Bagi Predator Seksual Anak!

Hukuman Mati Selayaknya Jadi Momok Bagi Predator Seksual Anak! Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak | Kredit Foto: Sufri Yuliardi

Hukuman mati berfungsi untuk efek jera yang membuat orang tidak melakukan kejahatan serupa sehingga terbentuklah ketenangan dan ketentraman di tengah masyarakat dan memberi rasa keadilan bagi korban tindak pidana dan keluarganya yang mengalami penderitaan.

Sementara itu, di sisi lain, pihak yang kontra terhadap tuntutan tersebut, khususnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bersama para aktivis HAM, memandang bahwa pidana mati bukan merupakan solusi yang tepat untuk mengakhiri rentetan kasus kekerasan seksual yang kini melanda Tanah Air. 

Komisioner Pemantauan/Penyelidikan Komnas HAM Mohammad Choirul Anam menegaskan bahwa pihaknya akan selalu menolak hukuman mati.

Sepanjang tahun 2021, jagat diskusi publik telah dipenuhi oleh keinginan para aktivis HAM untuk menghapuskan pidana mati di Indonesia. Pidana tersebut juga memperoleh kecaman dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) beserta seluruh organisasi afiliasi, termasuk The United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) atau Kantor PBB Urusan Obat-obatan dan Kejahatan.

Kecaman tersebut berlandaskan pada argumen bahwa hukuman mati bersifat permanen dan tidak dapat diubah (irreversible), serta melanggar HAM yang paling fundamental, yaitu hak untuk hidup.

Walaupun hukuman mati berfungsi untuk efek jera dan sudah banyak yang dijatuhi hukuman mati, kejahatan tetap berlangsung. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menanggapi penjatuhan vonis mati kepada predator anak. 

Menteri PPPA menegaskan penerapan hukuman yang sangat berat merupakan wujud komitmen terhadap pemberantasan kekerasan seksual, di samping juga pencegahan yang harus diperkuat. Baca Juga: 10 Tahun Perjalanan Panjang, Kekerasan Seksual Akhirnya Diatur Undang-undang

“Saya selalu menyampaikan bahwa kekerasan seksual tidak bisa ditolerir karena merupakan pelanggaran terhadap kemanusiaan dan memberi dampak negatif terhadap psikis anak. Luka fisik, trauma seumur hidup, ketidakberdayaan, stigma dialami korban kekerasan seksual anak,” kata Menteri Bintang dalam keterangannya, Sabtu (30/4/2022). 

Indonesia masih menghadapi tantangan atas tingginya kasus kekerasan seksual terhadap anak. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) KemenPPPA tahun 2021, kasus kekerasan terhadap anak tercatat 11.952 kasus. Dari jumlah tersebut 7.004 kasus merupakan kekerasan seksual anak.   

Menteri Bintang menegaskan dibutuhkan kerja sama semua pihak, mulai dari aparat penegak hukum, pemerintah pusat dan daerah, masyarakat dan orang tua untuk melakukan pencegahan sehingga dapat menurunkan angka kekerasan seksual anak. 

Dalam amar putusan hakim Pengadilan Tinggi Bandung menyatakan terdakwa Hendi terbukti bersalah melakukan tindak pidana pemerkosaan terhadap lebih dari satu orang, sesuai Pasal 76D UU 35 tahun 2014 jo Pasal 81 Ayat 1, 2, 5 UU 17 tahun 2016 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.  Para korban perkosaan yang berusia 5 – 11 tahun mengalami luka di beberapa bagian tubuh, salah satunya terganggunya fungsi di bagian alat reproduksi. 

Hal senada juga disuarakan oleh anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan, vonis mati sudah pernah melalui pengujian Mahkamah Konstitusional dan telah dinyatakan konstitusional. Oleh karena itu, Arteria Dahlan sangat mendukung hukuman mati terhadap "predator" anak.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rena Laila Wuri
Editor: Fajar Sulaiman

Bagikan Artikel: