Wujudkan Indonesia Sehat dan SDM Unggul Lewat Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai Hasil Tembakau
Kebijakan cukai hasil tembakau yang tepat dan ideal menjadi kunci dalam mewujudkan tujuan kesehatan masyarakat yang optimal. Khususnya dalam peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia setiap 31 Mei, pemerintah dan masyarakat diharapkan dapat bekerja sama dalam mewujudkan Indonesia Sehat melalui pengendalian konsumsi tembakau yang maksimal.
Ketua umum Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany mengatakan, pengendalian konsumsi tembakau menjadi penting agar masyarakat dapat hidup sehat dan produktif.
“Dari sisi kesehatan masyarakat, masalah tembakau merupakan masalah kesehatan masyarakat yang paling rumit,” ujarnya.
Baca Juga: Penyelundupan Tas Mewah, Bea Cukai Soekarno-Hatta Serahkan Tersangka ke Kejari Tangerang
Hasbullah mengungkapkan, kebijakan kenaikan cukai yang dilakukan tiap tahun di Indonesia tidak efektif dalam menurunkan prevalensi perokok di Indonesia sehingga tujuan pengendalian konsumsi belum tercapai. Indikator keberhasilan cukai adalah prevalensi perokok yang menurun, namun Indonesia menunjukkan sebaliknya.
“Perokok paling besar di usia 15-19 tahun padahal ini yang diharapkan menjadi generasi emas di 2045. Jika masih merokok, generasi emas ini berubah jadi generasi cemas. Hal ini bisa jadi terjadi karena dosis cukainya belum cukup karena pilihan rokok yang banyak sehingga masyarat dapat beralih ke rokok yang lebih murah,” katanya dalam Webinar Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2022 dari Komnas Pengendalian Tembakau dan Visi Integritas, Rabu (1/6/2022).
Untuk melindungi anak dan remaja dari rokok agar tercipta sumber daya manusia (SDM) unggul, lanjut Hasbullah, salah satu intervensi paling efektif adalah intervensi harga melalui kebijakan kenaikan cukai dan penyederhanaan struktur tarif cukai.
“Simplifikasi struktur cukai akan menjadi hal yang cukup efektif untuk membuat harga rokok tidak murah dan tidak membuat pilihan harga rokok yang beragam karena banyaknya golongan pada tiap jenis rokok,” katanya.
Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri juga mengatakan, kebijakan cukai hasil tembakau di Indonesia tidak menurunkan tren perokok.
“Prevalensi perokok laki-laki dewasa di Indonesia itu paling tinggi di dunia dan kita boleh dikatakan gagal dalam mewujudkan visi SDM Unggul Indonesia Maju. Oleh karena itu, kita menggugat kebijakan cukainya yang masih banyak loopholes-nya,” ujarnya.
Faisal mengatakan, penyederhanaan struktur tarif cukai yang dilakukan pemerintah tahun ini dari 10 layer menjadi delapan layer belum efektif.
“Delapan layer itu masih sangat banyak dan cenderung tidak efektif karena masih memberikan degree of maneuverability kepada perusahaan rokok untuk menyiasati kenaikan cukai,” katanya.
Faisal juga mempertanyakan batasan golongan produksi sebesar tiga miliar batang. “Batasan produksi sampai 3 miliar juga apa urusannya jika dikaitkan dengan kesehatan?” katanya.
Justru, lanjutnya, batasan produksi 3 miliar batang itu memicu perusahaan asing tidak mau naik kelas dengan membatasi produksinya.
“Penggolongan harusnya membantu UKM, bukan menolong perusahaan asing sehingga hal ini sudah tidak relevan lagi,” katanya.
Urgensi pengendalian konsumsi tembakau melalui penyederhanaan struktur tarif cukai juga disuarakan oleh peneliti CISDI Arya Swarnata.
“Mengapa konsumsi rokok belum turun secara signifikan? Hal ini karena keterjangkauan rokok di Indonesia masih tinggi dan sistem cukai yang kompleks mengurangi efektivitas cukai,” katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: