Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pakar Optimis, Indonesia Mampu Damaikan Konflik Rusia-Ukraina, Ini Alasannya...

Pakar Optimis, Indonesia Mampu Damaikan Konflik Rusia-Ukraina, Ini Alasannya... Kendaraan militer terlihat di jalan di pinggiran kota Donetsk yang dikuasai separatis, Ukraina 23 Februari 2022. | Kredit Foto: Reuters/Alexander Ermochenko
Warta Ekonomi, Jakarta -

Perang antara Rusia dan Ukraina, membawa dampak bagi perekonomian dunia. Termasuk, Indonesia. Salah satu dampaknya, net outflow dari pasar domestik, yang hingga bulan Maret 2022 mencapai 1,3 miliar dolar AS. Dampak lainnya adalah tergerusnya nilai tukar rupiah pada dollar.

"Mengingat Rusia adalah salah satu pemasok minyak mentah terbesar di dunia, maka Indonesia juga akan terkena imbas pada APBN-nya," ujar Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti (FEB Usakti) Usakti Asep Hermawan, saat membuka webinar tentang dampak perang Rusia-Ukraina terhadap perekonomian dunia dan nasional bersama Kementerian Luar Negeri Indonesia, Rabu (8/6/2022).

Baca Juga: Dubes Rusia Tertawakan Komentar Gubsu: Presiden Putin Lebih Tahu...

Dalam seminar daring ini, hadir sebagai pembicara mantan Dubes Indonesia untuk Austria Darmansjah Djumala, mantan Dubes Indonesia untuk Swedia Bagas Hapsoro, dan Guru Besar Ekonomi Usakti Tulus T. Hamonangan Tambunan.

Meski begitu, Asep meyakini, Indonesia bisa membantu meredakan konflik kedua negara tersebut. Apalagi, dengan posisi Indonesia yang memegang Presidensi G20. "Indonesia saat ini memegang presidensi G20, dan kami yakin bisa membantu meredakan konflik ini," imbuhnya. 

Diingatkan Asep, tugas Indonesia tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah, tetapi kalangan akademis dan swasta. Peranan mereka tidak boleh diabaikan. "Untuk itu FEB Usakti akan terus membantu sedapat mungkin melalui kajian ilmiahnya," janji Asep.

Sementara Darmansjah Djumala menguraikan aktualisasi dari politik luar negeri (polugri) yang bebas-aktif. Juga diuraikan alasan mengapa Indonesia mendukung resolusi PBB tentang kecaman terhadap invasi Rusia ke Ukraina dan apa dasar keputusan tersebut.

Dalam kaitan tersebut, diuraikan peristiwa konflik kedua negara tersebut dalam konteks PBB dari sisi makro.

"Resolusi SMU PBB tentang kecaman pada Rusia adalah sesuai dengan amanat UUD 1945 dan prinsip bebas-aktif," kata Djumala.

Selanjutnya, juga dijelaskan bahwa kepentingan Indonesia terakomodasi di dalam resolusi. Dukungan kepada resolusi ditentukan oleh kepentingan nasional, bukan mengekor kepada negara-negara Barat (Amerika Serikat, Uni Eropa dan NATO).

Atas dasar itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengundang Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan Presiden Rusia Vladimir Putin ke Bali guna menghentikan perang tersebut.

Diingatkan Djumala, perang antara dua negara itu telah mengakibatkan bencana kemanusiaan dan berdampak besar pada perekonomian dunia.

Selanjutnya, Bagas Hapsoro menjelaskan dampak ekonomi yang diderita Rusia akibat sanksi ekonomi negara Barat dan juga kerugian ekonomi Ukraina.

"Sanksi Barat telah melumpuhkan sektor perbankan dan sistem keuangan Rusia, sementara nilai mata uang rubel telah runtuh. Langkah-langkah tersebut termasuk upaya untuk membekukan 300 miliar dolar AS cadangan mata uang asing Rusia yang disimpan di luar negeri," papar Bagas.

Selain itu, terjadi pula kenaikan suku bunga, ancaman inflasi, dan melambatnya pertumbuhan ekonomi. Ukraina juga menderita kerugian besar.

Mengutip AFP, Bagas mengungkapkan, Ukraina telah kehilangan hingga 600 miliar dolar AS sebagai akibat dari invasi Rusia, termasuk 92 miliar dolar AS kerusakan pada infrastrukturnya.

Setidaknya 195 pabrik dan bisnis, 230 lembaga perawatan kesehatan dan 940 fasilitas pendidikan telah rusak dan hancur. "Imbauan Indonesia untuk menyetop perang sangat beralasan," tegasnya.

Bantuan kemanusiaan terutama kepada penduduk sipil Ukraina yang harus mengungsi karena negaranya sudah tidak aman lagi.

Hancurnya bangunan tempat tinggal dan jalan menyumbang jumlah total kerusakan infrastruktur terbesar dengan kerugian besar, dengan 23.800 kilometer jalan rusak atau hancur.

Sementara Tulus TH Tambunan menambahkan, Indonesia terdampak akibat terhambatnya dua komoditas dari Rusia Ukraina. Yakni, gandum dan minyak mentah.

"Pada 2018-2020 Indonesia adalah salah satu negara pengimpor tertinggi gandum Ukraina. Ketergantungan kita sangat besar," ungkap Tulus.

Indonesia juga merupakan net importir minyak mentah. Menurut data SKK Migas: produksi minyak mentah di Indonesia mencapai 700 ribu barel per hari.

Dengan demikian, kenaikan harga minyak mentah 1 dolar AS per barel akan meninggikan anggaran subsidi elpiji sekitar Rp 1,47 trilliun, subsidi minyak tanah Rp 49 miliar, dan beban kompensasi BBM kepada pertamina Rp 2,65 triliun.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: