Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pengamat Migas: Yang Memiliki Hak Beli BBM Bersubsidi Adalah Rakyat Kecil

Pengamat Migas: Yang Memiliki Hak Beli BBM Bersubsidi Adalah Rakyat Kecil Kredit Foto: Mochamad Ali Topan
Warta Ekonomi, Surabaya -

Pemerintah akan menguji coba pembelian pembatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi menggunakan aplikasi MyPertamina yang rencananya akan dilakukan bulan Agustus 2022 nanti mulai dapat sorotan dari beberapa pengamat.

Pengamat independen industri minyak dan gas (migas), Komaidi Notonegoro, menilai bahwa rencana pemerintah melakukan peraturan tersebut akan sulit ditetapkan di lapangan. Pasalnya, kata Komaidi, pegawai Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) akan head to head dengan pengendara mobil yang merasa punya hak membeli BBM Pertalite maupun solar bersubsidi tersebut.

Baca Juga: Kurangi Beban Negara, Pemerintah Ajak Masyarakat Bijak dalam Penggunaan BBM dan LPG Subsidi

"Akan sulit nantinya. Yang ada terjadi banyak pertikaian dengan pegawai SPBU, belum lagi tidak semua konsumen punya akses jaringan internet seperti di daerah pelosok," tegas Komaidi saat ditemui usai menghadiri dialog interaktif yang digelar PMII di Islamic Center, Sabtu (25/6/2022)  sore.

Apa solusi agar BBM bersubsidi tepat sasaran?

Menurut Komaidi, solusinya sederhana saja, yakni dengan membuat pengumuman bahwa yang berhak membeli BBM Pertalite hanya kendaraan roda dua (R2) saja. Sementara, kendaraan roda empat (R4) bisa menggunakan BBM nonsubsidi.

"Logikanya begini. Orang yang beli mobil kan tidak mungkin tidak bisa beli BBM dengan oktan tinggi. Jika memang mereka hanya mampu beli Pertalite yang harganya Rp7 ribuan, pasti kemampuannya hanya membeli kendaraan roda dua," ujar pria yang juga menjabat Direktur Eksekutif ReforMiner Institute ini.

Komaidi pun menyebutkan jika subsidi BBM yang ada saat ini sudah sangat membebani negara. Jika dibiarkan terus dinikmati oleh orang yang mampu beli mobil, tetapi tidak bisa beli BBM nonsubsidi, subsidi untuk pendidikan dan pupuk pun akan tergenjet oleh kebutuhan subsidi BBM.

"Subsidi ditujukan untuk masyarakat kurang mampu. Nah, kalau sudah mampu beli mobil, masa tidak mampu beli BBM nonsubsidi," kritik alumnus Fakultas Ekonomi Unair ini di depan para mahasiswa PMII.

Sementara itu, Anggota Komisi C DPRD Surabaya, Abdul Ghoni Mukhlas Nia'm, menilai bahwa pemerintah memberlakukan batasan BBM bersubsidi justru akan menyengsarakan masyarakat nelayan yang beradara di daerah pesisir pantai. Contoh saja, sebut Ghoni, daerah Kenjeran Surabaya di mana masyarakat di sana mata pencahariannya sebagai nelayan membutuhkan BBM jenis solar untuk melaut. Jika pembatasan BBM bersubsidi dilakukan, meraka (nelayan) akan sulit mendapatkan BBM jenis solar yang dijual SPBU. Mau tak mau, para nelayan ini akan membeli d itempat lain yang harganya lebih tinggi.

"Solar ada, dijual di Pertamini yang harganya jauh lebih mahal dibandingkan SPBU legal. Solar yang harganya Rp5.150 per liter, dijual seharga Rp10 ribuan," kata Ghoni.

DPRD Surabaya sepakat akan mengawal subsidi solar ini benar-benar bisa dinikmati oleh nelayan. Sebab, jika Solar bersubsidi tak bisa diakses nelayan, ekonomi nelayan yang berada di pesisir pantai  akan makin terpuruk.

"Contoh saja, nelayan di Kenjeran Surabaya itu sudah banyak masalah mulai dari kelangkaan solar bersubsidi nantinya hingga kasus lainnya, seperti kasus stunting atau gizi buruk yang menimpa anak mereka, akibat keterbatasan ekonomi. Untuk itu, pemerintah juga memikirkan nasib rakyatnya seperti para nelayan ini dan lainnya," pungkas Ghoni juga anggota dewan dari PDIP ini.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Mochamad Ali Topan
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: