Meski sejumlah indikator ketahanan ekonomi Indonesia terbilang jauh lebih baik dibanding krisis pada 2008 dan taper tantrum pada 2013, misalnya cadangan devisa yang cukup gemuk dengan nilai US$136,4 miliar serta windfall harga komoditas yang berhasil menjaga nilai rupiah, namun indikator tersebut tidak dapat dipastikan kestabilannya dan masih mungkin terpengaruh oleh kondisi perekonomian global.
"Contohnya, ketergantungan terhadap harga komoditas tentu cukup berisiko. Sekarang harga crude palm oil (CPO) di pasar internasional anjlok 6,3% dalam setahun terakhir, menjadi 3.762 RM per ton (data per 13 Juli 2022). Kemudian, nikel juga mulai alami koreksi dalam sebulan terakhir. Artinya, menggantungkan ketahanan eksternal dengan fluktuasi harga komoditas sama dengan naik roller coaster tanpa sabuk pengaman. Sekali harga komoditas anjlok, hilang pendapatan, devisa dan pertahanan ekonomi langsung melemah," papar Bhima.
Dampak tersebut telah terlibat pada kondisi petani sawit lokal yang sampai menjual TBS (tandan buah segar) mereka ke Malaysia lantaran anjloknya harga di dalam negeri.
Bagi kelompok pekerja, imbasnya akan terasa pada biaya hidup yang kian mahal. Kondisi ini tidak diiringi dengan nilai upah yang hanya naik rata-rata sekitar 1%. "Cicilan motor dan rumah juga makin mahal karena suku bunga otomatis naik. Banyak tekanan yang disebut sebagai cost of living crisis atau krisis biaya hidup," terang Bhima.
Direktur CELIOS itu menilai, apabila kondisi krisis terus berlanjut, makin banyak kelompok pekerja yang jatuh ke bawah garis kemiskinan.
"Dalam jangka panjang, pekerja rentan bisa jatuh ke bawah garis kemiskinan meskipun seolah tetap aktif bekerja," tutup dia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: