Eko menambahkan perlu peran pemerintah untuk mencarikan strategi penyelesaian masalah PETI, meski di sisi lain polisi tetap melakukan penegakan hukum.
“Pemda bisa menyediakan lapangan kerja lain, edukasi ditingkatkan, itu tentu akan lebih baik,” katanya.
Ahmad Redi mengatakan PETI mempunyai karakter khusus, bekerja secara individu bahkan korporasi. Korporasi modusnya itu menambang di luar WIUP-nya karena sudah habis sumber cadangannya.
“Yang hari ini menjadi masalah sosial adalah yang dilakukan kelompok kecil sehingga ada 200-ribu orang yang potensial masuk penjara,” kata dia.
Ada dua faktor yang menurut Redi menjadi penyebab dari PETI, yakni faktor sosial dan hukum. Faktor sosial adalah di mana kegiatan sudah menjadi pekerjaan turunan karena dilakukan secara turun menurun oleh masyarakat setempat. Terdapatnya hubungan yang kurang hamornis antara pertambangan resmi atau berizin dan masyarakat setempat.
“Terjadinya penafsiran keliru tentang reformasi yang diartikan sebagai kebebasan tanpa batas,” kata dia.
Faktor penyebab PETI secara hukum, akibat dari ketidaktahuan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang pertambangan.
Kelemahan penerapan peraturan di bidang pertambangan tercermin dalam kekurangberpihakan kepada kepentingan masyarakat luas. “Selain itu, tidak adanya sanksi terhadap pertambangan resmi atau berizin yang tidak memanfaatkan wilayah usahanya (lahan tidur). Kelemahan dalam penegakan hukum dan pengawasan,” tegas Redi.
Dia menekankan pentingnya mendorong pemberantasan PETI secara terus menerus karena isu penyelesaiannya sangat penting untuk pertambangan nasional.
“Satgas perlu dibentuk karena menjadi bentuk keseriusan negara sehingga bisa mendapatkan penerimaan negara dari penambangan legal. SDA adalah karunia Tuhan bagi masyarakat yang ada di sekitar wilayah tambang,” kata dia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: