Berdasarkan data Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia yang mencapai 51,3 pada bulan Juli 2022, terlihat catatan peningkatan dari bulan sebelumnya yang berada di angka 50,2.
Tren penguatan sektor manufaktur juga dialami oleh beberapa negara seperti Malaysia (50,6) dan Thailand (52,4). Sementara itu, terdapat negara yang masih mengalami perlambatan meskipun masih berada di zona ekspansi seperti Jepang (52,1), Vietnam (51,2), dan Filipina (50,8). Di sisi lain, negara seperti Korea Selatan (49,8) dan Taiwan (44,6) berada dalam zona kontraksi.
"Pemulihan domestik yang terus terjadi menjadi faktor utama dari kinerja positif manufaktur Indonesia. Hal ini sejalan dengan pengendalian pandemi Covid-19 yang semakin baik seiring terus terakselerasinya tingkat vaksinasi penuh. Intervensi melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang terus diperkuat diharapkan mampu terus menjaga momentum pemulihan ini. Selain itu, tekanan harga khususnya nonenergi dunia yang mulai mereda secara gradual juga diharapkan terus menjadi faktor positif ke depannya," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu.
Tren positif manufaktur ini juga diikuti dengan pembukaan lapangan kerja yang mencapai rekor tercepatnya dalam 10 tahun terakhir.
Laju ekspansi ini sejalan dengan survei Bank Indonesia mengenai tren kapasitas produksi manufaktur yang secara konsisten meningkat dalam dua triwulan terakhir dan mulai mendekati level prapandemi.
"Peningkatan produksi ini terjadi seiring dengan permintaan konsumen domestik yang menguat. Permintaan dari sisi konsumsi ini akan terus dijaga agar kinerja manufaktur yang menguat ini dapat terus menopang pemulihan ke depan," imbuhnya.
Baca Juga: Investasi Manufaktur Tumbuh 38% di Semester I 2022, Pemerintah Bilang Punya Efek Ganda
Meskipun demikian, dampak perlambatan ekonomi dunia perlu diwaspadai, sejalan dengan proyeksi pertumbuhan perdagangan dunia dalam World Economic Outlook (WEO) yang direvisi -0.9 poin presentase di tahun 2022.
Selain dinamika ekonomi global, stabilitas harga domestik akan terus menjadi perhatian seiring dengan tren inflasi yang meningkat pada Juli 2022 yang mencapai 4,94 persen (yoy) (Juni: 4,35 persen). Hal ini masih dipengaruhi oleh kenaikan harga cabai dan bawang merah, bahan bakar rumah tangga nonsubsidi, serta tarif angkutan udara.
Secara bulan ke bulan, inflasi juga meningkat mencapai 0,64 persen (Juni: 0,61 persen). Tingkat inflasi Indonesia secara keseluruhan masih lebih rendah dibandingkan dengan negara lain seperti Uni Eropa (angka estimasi resmi: 8,9 persen) (Juni: 8,6 persen).
Meskipun sedikit meningkat, inflasi inti masih terjaga pada level 2,86 persen (yoy) (Juni: 2,63 persen). Relatif terjaganya inflasi inti juga mencerminkan komitmen Bank Indonesia dalam mengendalikan ekspektasi inflasi di Indonesia. Pada sisi lain, pergerakan komponen inflasi inti, baik jenis barang maupun jasa, menunjukkan menguatnya pemulihan daya beli dan permintaan masyarakat.
Baca Juga: Kebutuhan Tenaga Kerja Sektor Konstruksi dan Manufaktur Bakal Meningkat
Adapun, inflasi harga yang diatur pemerintah (administered prices) Juli 2022 mengalami peningkatan menjadi 6,51 persen (Juni: 5,33 persen). Masih tingginya harga energi dunia khususnya minyak mentah mendorong penyesuaian beberapa harga energi domestik seperti BBM dan elpiji non-subsidi, serta tarif listrik. Selain itu tekanan harga avtur dan pajak bandara juga masih mendorong kenaikan tarif angkutan udara.
"Dinamika global masih menjadi tantangan utama bagi stabilitas harga di dalam negeri. Namun demikian, APBN akan terus dioptimalkan sebagai shock absorber, melalui alokasi subsidi dan kompensasi untuk BBM, listrik dan LPG untuk menyerap tantangan tersebut. Pergerakan administered prices di Indonesia relatif terkendali dibandingkan dengan beberapa negara lain yang tidak menggunakan mekanisme subsidi energi, seperti di Singapura, AS, dan Eropa," jelasnya.
Sementara itu, inflasi harga pangan bergejolak (volatile food) kembali meningkat signifikan mencapai 11,47 persen (Juni: 10,07 persen). Inflasi pangan bulan ini disebabkan oleh gangguan suplai domestik pada produk hortikultura seperti cabai merah, cabai rawit, serta bawang merah akibat kondisi cuaca. Di sisi lain, harga daging ayam menurun akibat melimpahnya stok pasca Idul Adha serta harga minyak goreng yang mengalami deflasi seiring melandainya harga Produk Sawit.
"Menghadapi kenaikan harga pangan ini, pemerintah akan terus melaksanakan dan memperkuat kebijakan intervensi harga pangan, penguatan stok, serta operasi pasar dan dukungan fasilitas distribusi yang dilakukan oleh berbagai Pemerintah Daerah untuk menekan harga cabai dan bawang yang masih tinggi. Faktor musiman terkait kondisi cuaca umumnya bersifat temporer. Harga pangan diperkirakan akan semakin stabil seiring membaiknya kondisi cuaca ke depannya. Pergerakan harga komoditas hortikultura sudah menunjukan tren melandai dalam dua minggu terakhir bulan Juli," jelas Febrio.
Baca Juga: Selain Harga Cabai, Persiapan Masuk Sekolah Juga Ikut Dorong Naiknya Inflasi di DKI Jakarta
Dengan perkembangan saat ini, laju inflasi akhir tahun diperkirakan masih relatif moderat, meskipun cenderung berada pada batas atas sasaran inflasi Pemerintah.
"Pemerintah dalam mengendalikan inflasi akan mengoptimalkan kebijakan kunci terutama menjaga daya beli masyarakat melalui berbagai kebijakan subsidi, kompensasi, dan perlindungan sosial bagi masyarakat miskin dan rentan. Selain itu pemerintah akan terus menjaga momentum pemulihan dengan mengendalikan pandemi dan mendorong program PEN. Koordinasi dan kolaborasi Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID) akan terus diperkuat untuk menjaga keseimbangan antara suplai dan permintaan masyarakat, termasuk keseimbangan distribusi pasokan antar wilayah," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Martyasari Rizky
Editor: Ayu Almas
Tag Terkait: