Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Strategi Sukses Swasembada Beras Perlu Diadopsi untuk Komoditas Pangan Lain

Strategi Sukses Swasembada Beras Perlu Diadopsi untuk Komoditas Pangan Lain Kredit Foto: Antara/Muhammad Arif Pribadi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Indonesia menerima penghargaan dari Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI) karena telah memiliki sistem ketahanan pangan yang baik dan berhasil swasembada beras pada periode 2019-2021. Penghargaan diserahkan Direktur Jenderal IRRI Jean Balie kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih mengungkapkan apresiasi atas penghargaan tersebut. Menurutnya penghargaan itu adalah buah dari implementasi UU 18/2012 tentang Pangan yang tidak membolehkan impor pangan selagi masih bisa diproduksi oleh petani di dalam negeri. Dalam UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani juga disebutkan demikian.

"Jadi, karena itulah sejak Presiden Jokowi, dia memang menekankan tidak akan impor beras. Itu saya pikir satu yang harus dihargai komitmen dia itu. Jadi karenanya, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan tidak mau impor beras, tidak bisa," ungkapnya, Senin (15/8/2022). 

Henry menekankan seharusnya kebijakan beras itu bisa diimplementasikan untuk komoditas pangan lain. "Ya harusnya di komoditas yang lain, termasuk daging, untuk semuanya. Karena sesungguhnya Indonesia bisa untuk kacang kedelai, bahkan juga terigu," ujarnya.

Swasembada beras juga didukung oleh pembangunan banyak irigasi pertanian oleh pemerintah. Meski demikian, Henry mengungkapkan masih banyak yang harus dilakukan pemerintah terkait beras.

"PR-nya begini, petani yang produsen beras itu kehidupan kesejahteraannya belum membaik. Itu bisa dilihat secara sederhana dari nilai tukar petani (NTP), di mana NTP tiga tahun ini menurun," tegas Henry.

Penurunan NTP menjadi indikator kerugian yang dialami petani pangan. Penurunan itu dipengaruhi mahalnya ongkos produksi tanaman padi.

"Jadi sebenarnya petani pangan, dalam hal ini padi, ya semuanya merugi di sini. Mengapa terjadi penurunan? Karena harga pupuk-pupuk mahal, terus juga benih-benih juga naik," ungkapnya.

Henry menyarankan agar program Reforma Agraria menyasar petani penanam padi yang kini dihadapkan pada penyempitan lahan tanam dan kenaikan harga sewa lahan. "Program reforma agraria yang membagikan tanah 9,7 juta hektare itu harusnya menyasar pada petani tanaman padi. Karena itu yang harus ditambah luas lahannya," tambahnya.

Selain itu, Indonesia baru surplus beras 10 juta ton. Angka itu setara dengan kebutuhan nasional selama 3 bulan. "Karena Indonesia baru surplus 10juta, itu hanya kebutuhan untuk 3 bulan, gak sampai satu kali panen. Jadi sebenarnya kita harus tingkatkan lagi," tambahnya.

Henry juga mewanti-wanti agar para produsen beras dalam negeri menggunakan benih lokal. Hal itu mesti dilakukan untuk menjamin kedaulatan pangan Indonesia. "Kita harus terus menggunakan benih yang diproduksi oleh petani, pemerintah, dan lembaga-lembaga kita," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: