Dunia digital merupakan ruang tanpa batasan wilayah dan waktu sehingga masyarakat memiliki dua entitas sekaligus, yakni sebagai produsen dan konsumen informasi dalam waktu bersamaan. Imbasnya, penyebaran hoaks kerap selalu lebih cepat dibandingkan berita benar.
Setiap individu bisa dengan mudah menyampaikan pikiran, gagasan, apapun yang ingin disampaikan melalui platform media sosial. Situasi ini menjadi kontrol sosial di masyarakat. Sebab, beberapa orang terkadang membutuhkan media sosial untuk menyuarakan ekspresinya.
Baca Juga: Pahami Algoritma agar Tetap Etis di Media Sosial
"Media sosial bisa menjadi awalan, tapi kita tetap butuh media mainstream sebagai verifikator informasi," kata Dosen UINSATU dan Japelidi, Dimas Prakoso, saat webinar Makin Cakap Digital 2022 untuk kelompok masyarakat di wilayah Kabupaten Jombang, Jawa Timur, pada Senin (15/8/2022), dikutip dari siaran pers yang diterima di Jakarta.
Hoaks atau berita palsu merupakan salah satu produk olahan seseorang ketika terhubung di dunia digital. UNESCO membagi hoaks menjadi tiga, yakni misinformasi, malinformasi, dan disinformasi.
Lembaga berita, lanjut dia, butuh waktu untuk mengolah isu yang didapat. Ketika informasi masuk ruang redaksi harus diproses terlebih dulu, diverifikasi, dan dicari narasumber yang sesuai. "Berita yang diproduksi lembaga media cenderung lebih bisa dipercaya jika dibandingkan di media sosial," kata Dimas.
Pengguna internet di Indonesia pada tahun 2021 mengalami peningkatan, We Are Social mencatat kini pengguna internet di Indonesia mencapai 202,6 juta pengguna dengan 170 juta penggunanya menggunakan media sosial. Dapat dikatakan, pengguna internet mencapai 61.8% dari total populasi Indonesia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum