Masih banyaknya negara di dunia yang masih menggunakan energi yang bersumber dari fosil seperti gas dinilai dapat menimbulkan risiko aset terbengkalai dan menyulitkan untuk mewujudkan komitmen Persetujuan Paris membatasi kenaikan suhu permukaan bumi di bawah 1,5 derajat Celcius
Analis Iklim dan Kebijakan Energi dari Climate Analytics, Anna Chapman menyebut penghentian pengoperasian pembangkit listrik bertenaga gas harus segera terjadi paling lama 5 sampai 10 tahun setelah seluruh PLTU batu bara dihentikan, baik di negara maju maupun negara berkembang.
“Biaya energi terbarukan dan baterai menjadi lebih murah tiap tahunnya dan lebih minim emisi dibandingkan gas sehingga keluar dari penggunaan bahan bakar gas menjadi mendesak dan penting,” ujar Anna dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (29/8/2022).
Baca Juga: Menteri LHK Sebut Kepedulian Generasi Muda Bisa Atasi Perubahan Iklim Semakin Menguat
Anna mengatakan, komitmen yang kuat dari pemerintah serta dukungan finansial, teknis untuk bertransisi dari negara maju sangat diperlukan oleh negara berkembang.
“Saling menopang untuk memenuhi target iklim, bahkan juga sudah diatur dalam Persetujuan Paris,” ujarnya.
Sementara itu, Analis Kebijakan Iklim dari New Climate Institute, Mia Moisio mengatakan agar pemerintah di tiap negara, termasuk di Indonesia mempertimbangkan jalan keluar yang tepat dari krisis energi dengan tidak secara gegabah membangun infrastruktur gas walaupun dengan alasan mempercepat transisi energi.
“Terburu-buru untuk membangun infrastruktur gas baru di seluruh dunia untuk menggantikan gas Rusia akan mengunci dunia ke dampak pemanasan global yang permanen. Kegagalan pemerintah untuk tetap mitigasi krisis iklim selama pemulihan COVID 19, agaknya akan kembali terulang dalam menghadapi kejutan energi global. Sementara, sebenarnya ada banyak pilihan yang kurang dimanfaatkan untuk lepas dari ketergantungan dari bahan bakar fosil,” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah dapat segera menghentikan pembangunan infrastruktur bahan bakar gas dan meningkatkan pengembangan energi terbarukan serta meningkatkan produksi hidrogen hijau.
Selain itu, perubahan perilaku di masyarakat juga perlu didorong dengan memberikan insentif yang menarik bagi masyarakat yang mempunyai gaya hidup rendah karbon.
Disisi lain Peneliti Senior Institute for Essential Services Reform (IESR) Raditya Wiranegara, mengatakan hal tersebut akan mendorong pengguna energi untuk lebih memperhatikan konsumsi energinya, sehingga pasar yang terbentuk terisi oleh-oleh peralatan yang efisien dan rendah emisi. Hal ini menjadi penting mengingat beban APBN yang semakin tinggi di tingginya harga komoditas energi dunia.
Namun, menurutnya, pemerintah tetap perlu memainkan perannya dalam mendorong kebijakan yang ramah energi bersih.
“Di sisi lain, pemerintah perlu melakukan refocusing dari APBN agar pengembangan proyek energi bersih mendapat porsi yang lebih tinggi dari sebelumnya. Alokasi ini dapat menjadi catalytic investation, yang jika dibarengi oleh regulasi yang tepat, dapat mendorong terbentuknya pasar yang dengan sendirinya akan berkembang,” ungkap Raditya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: