Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Realisasi Program PSR, Apa Tantangan yang Masih Dihadapi?

Realisasi Program PSR, Apa Tantangan yang Masih Dihadapi? Pekerja mengumpulkan Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit ke atas truk di Mamuju Tengah , Sulawesi Barat, Rabu (11/08/2021). Harga TBS kelapa sawit tingkat petani sejak sebulan terakhir mengalami kenaikan harga dari Rp1.970 per kilogram naik menjadi Rp2.180 per kilogram disebabkan meningkatnya permintaan pasar sementara ketersediaan TBS kelapa sawit berkurang. | Kredit Foto: Antara/Akbar Tado
Warta Ekonomi, Jakarta -

Realisasi program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) hingga Mei 2022 tercatat baru 0,88 persen atau sekitar 1.540 hektare. Sekjen DPP APKASINDO Rino Afrino menjelaskan bahwa tantangan kegiatan PSR di antaranya adalah persyaratan yang harus dipenuhi petani berkaitan keterangan bebas kawasan hutan, bebas HGU, dan validasi NIK sebagaimana rekomendasi dari Badan Pemeriksa Keuangan RI.

Tantangan berat lainnya, menurut Rino, adalah legalitas lahan. Dia menekankan, memang legalitas lahan menunjukkan petani sawit kalau dilihat dari SK Kehutanan dinyatakan dalam kawasan hutan.

Baca Juga: Kebijakan Ekspor Sawit US$0/Ton Dinilai Efektif Kurangi Beban Eksportir, Ini Kata Kemenkeu!

"Walaupun sudah mengikuti program transmigrasi semenjak 30 tahun lalu, telah memiliki generasi keturunan di lahan tersebut, bahkan kawasan tersebut telah menjadi kampung dengan memiliki fasos dan fasum, Kementerian LHK tetap mengeklaim dalam kawasan hutan," ujar Rino, dilansir dari laman Majalah Sawit Indonesia pada Jumat (2/9).

Ditegaskan Rino, kegiatan masyarakat tersebut bukan berarti sengaja merambah hutan, tetapi sudah ada di sana semenjak puluhan tahun lalu. Mekanisme penyelesaian kebun masyarakat dalam kawasan hutan, kata Rino, belum dapat memberikan solusi dan kepastian hukum. 

Sebagai contoh, penyelesaian melalui PP Nomor 23/21 tentang Penyelenggaraan Kehutanan mewajibkan petani harus menunjukkan bukti kepemilikan kebun di atas 25 tahun apabila ingin dibebaskan dari kawasan hutan. Apabila di bawah 20 tahun, lahan petani masuk ke skema perhutanan sosial.

"Ini menjadi aneh bagaimana lahan milik kita bisa menjadi areal perhutanan sosial. Di sisi lain, pola perhutanan sosial tidak mengakui kelapa sawit di lahan perhutanan sosial. Akibatnya, petani sawit tidak bisa ikut PSR," urainya.

Tidak hanya itu, dikatakan Rino, masalah lain yang menganggu petani dalam PSR ialah syarat bebas gambut. Padahal, kebun petani kerap kali berada di lahan marginal seperti gambut, bukan berada di tanah subur.

Baca Juga: Industri Sawit Nyatakan Siap Pasok CPO Untuk Program B40

"Kalau ini diterapkan, petani yang berada di lahan gambut tidak bisa mengajukan dana PSR," urainya.

Rino menyampaikan, terdapat tiga dampak nyata Perkebunan Sawit Rakyat yang terindikasi masuk dalam Kawasan Hutan. Pertama, petani sawit rakyat terancam tidak bisa lagi ikut program PSR dan SARPRAS yang dicanangkan oleh Presiden dan Wakil Presiden. Kedua, petani sawit rakyat terancam tidak bisa mengikuti program sertifikasi ISPO sebagai syarat masuk ke pasar. Ketiga, ketahanan energi berupa program biodiesel terancam berhenti.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: