Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sejak Kecil Ingin Jadi CEO Nike, Yukka Harlanda Kini Punya Brand Sepatu Sendiri: Brodo

Sejak Kecil Ingin Jadi CEO Nike, Yukka Harlanda Kini Punya Brand Sepatu Sendiri: Brodo Yukka Harlanda, CEO Brodo. | Kredit Foto: Instagram/Yukka Harlanda
Warta Ekonomi, Jakarta -

CEO Brodo, Yukka Harlanda menceritakan masa kecilnya yang sangat menarik. Pasalnya, orang tua Yukka yang bekerja di Dinas Pertanahan sering bekerja di luar negeri. Nama Yukka sendiri diambil dari nama sungai di Swedia, dan Harlanda diambil dari nama daerah di Stockholm.

Yukka sewaktu kecil pernah ikut orang tuanya tinggal di New York, Amerika Serikat (AS) karena sang ayah berkesempatan kuliah di Syracuse University jurusan informatika.

Pada saat itu, Yukka yang masih TK cepat beradaptasi dengan anak-anak di sana. Dalam waktu dua bulan, Yukka sudah lancar berbahasa Inggris. Sampai-sampai ketika kelas 2 SD kembali ke Indonesia, Yukka belum bisa baca tulis Bahasa Indonesia.

Baca Juga: Cerita 'Absurd' Yukka Harlanda Jadi Awal Berdirinya Sepatu Brodo

Yukka bercerita dalam podcast bertajuk "Indonesia Tolok Ukur Hasta Karya Dunia - Yukka Harlanda | Endgame #92", pendidikan di AS sangat mendorong kreativitas dan kedisiplinan.

"Enggak boleh terlambat, enggak boleh nyontek, tapi kalau nilai jelek itu enggak apa-apa. Dan kreativitas itu didorong banget," ujar Yukka.

Oleh karena itu, Yukka dan kakak adiknya memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi karena mereka sering pindah-pindah tempat dari Amerika ke Jakarta, lalu Bandung dan Bekasi.

Yukka memiliki kakak dan adik sama hebatnya dengan dirinya. Kakaknya yang pertama membuat startup keuangan dengan adiknya, lalu yang kedua berprofesi sebagai Dokter Ortopedi. Yukka sendiri anak ketiga yang hari ini menjadi CEO sepatu lokal yang terkenal.

Selain itu, Yukka juga pernah berkesempatan pertukaran pelajar ke Iowa, Amerika Serikat (AS) tepatnya di Ames. Sekembalinya dari Amerika, Yukka mengulang kembali satu tahun SMA untuk kemudian kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Yukka mengungkap bahwa sebenarnya ia pergi ke ITB karena ingin menyusul kekasihnya yang saat ini menjadi ibu dari anak-anaknya.

Saat itu, Yukka masih belum tahu ingin menjadi apa dewasa nanti. Ia pun bercerita sejak kelas 3 SD saat ditanya cita-cita, Yukka selalu menjawab ingin menjadi CEO Nike. Sejak kecil, Yukka juga selalu memakai sepatu Nike karena ukuran kakinya yang besar sehingga tidak bisa memakai sepatu lokal Indonesia.

Sampai suatu hari, Yukka yang tidak pernah memakai sepatu pantofel diharuskan oleh dosen saat presentasi. Karena ukuran kaki Yukka yang besar, ia pun mencari kesana kemari sepatu pantofel untuknya. Sayangnya, sekalinya ada yang muat harganya Rp2,2 juta. Saat itu, Yukka yang masih mahasiswa merasa mahal karena ia sudah dijatahi uang bulanan oleh orang tuanya.

Dari sinilah bibit-bibit Brodo lahir. Bersama teman main basketnya, Putera Dwi Karunia atau yang biasa disapa Uta, keduanya pun mendirikan Brodo.

Semula Uta mengajak Yukka ke Cibaduyut untuk membuat sepatu yang ingin Yukka beli. Setelah satu minggu, akhirnya sepatu itu pun jadi dan bagus. Pembuat sepatunya pun meminta untuk minimal pembuatan sepatu paling tidak 1-3 lusin.

Akhirnya, Yukka membuat sepatu tersebut 3 lusin dengan ukuran yang bervariasi dan harga satuan Rp250 ribu. Ia pun menjualnya ke teman-teman dan adik tingkatnya seharga Rp350 ribu sepasang. Akhirnya, Yukka pertama kali merasakan memegang uang hasil sendiri. Ia pun ketagihan.

Hingga suatu hari ada sebuah acara Pasar Seni ITB, Yukka tertarik untuk ikut dan mengajak Uta untuk bergabung dengannya. Keduanya pun patungan Rp3,5 juta masing-masing untuk membuat sepatu lebih banyak. Karena acara tersebut rame, sepatu yang jual Yukka dan Uta pun habis.

"Dari tujuh juta saya putar jadi belasan juta. Rasa nikmatnya menghasilkan uang sendiri itu beda banget," pungkas Yukka.

Pada tahun 2010, akhirnya Yukka dan Uta memutuskan nama sepatu buatan mereka yakni Brodo. Saat itu, Yukka dan Uta masih tingkat tiga perkuliahan. Mereka pun akhirnya jualan online sepatu Brodo dengan bermodalkan BlackBerry. Uang hasil jualan mereka putar terus tidak diambil karena masih mendapat uang biaya hidup dari orang tua.

Namun, setelah lulus kuliah, kegalauan mereka pun muncul. Saat Yukka sudah interview di perusahaan minyak dan gas dengan gaji dollar, Uta bertanya hendak diapakan Brodo ini yang sudah berjalan satu tahun lamanya.

Akhirnya keduanya memutuskan untuk melanjutkan Brodo satu tahun lagi. Yukka mengaku beruntung dengan 'waktu' yang pas untuk bisnisnya yakni jualan online. Saat itu, sepatu Brodo difoto oleh temannya yang sedang studi wisata ke Jerman. Orang-orang sampai mengira sepatu Brodo buatan luar negeri, padahal Brodo adalah produk lokal yang dijual di kos-kosan.

"Jadi kita jualan tuh nggak perlu bikin toko, nggak perlu melakukan pengiriman dengan potongan yang mahal. Kita dari kos-kosan, saya jualnya di kos-kosan pakai kutang," ujar Yukka.

Pada tahun 2011, Brodo terjual hanya 30 pasang. Saat itu, Yukka dan Uta masih berandai-andai, "Bagaimana ya rasanya terjual 1.000 per bulan?". Hari ini, Brodo bisa menjual 100.000 pasang sepatu dalam satu bulan.

Yukka bercerita bahwa Brodo bisa berdiri seperti sekarang karena bantun banyak orang seperti senior-senior di kampusnya dulu. Ia diajari mencari vendor yang bagus, keuangan, bisnis dan lain sebagainya. Meski Yukka hanya paham Fisika, tetapi dengan kemauannya untuk belajar Industri Kreatif di bidang footwear, jadilah Brodo sehebat sekarang.

Yukka sendiri mengatakan bahwa ada 4% sepatu buatan Indonesia yang tersebar di seluruh dunia. Dan sepatu-sepatu itu kebanyakan masuk pada kelas tier-A/B yang masuk ke etalase keren-keren. Yukka sendiri baru tahu hal tersebut. Brodo hari ini sudah memproduksi 70 juta sepatu sejak awal berdiri.

"Merek Brodo sudah banyak yang tahu. Nggak semua orang adalah pembeli. Tapi, 10 orang saya cek secara random, semua udah dengar. Itu membuat saya senang," ujar Yukka.

Yukka berujar bahwa Brodo paling jauh sudah mengiirm hingga ke Yapen Waropen, Papua, atau lebih tepatnya di Pulau Serui. Yukka mengingat nama daerah itu karena ongkos kirim yang mahal yakni Rp180 ribu.

"Mimpi kita sih semua titik di Indonesia ada," pungkas Yukka. "Dan kita pengen lihat istilahnya tuh industri sepatu Indonesia itu memang industri kelas dunia, dikenal di dunia global."

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajria Anindya Utami
Editor: Fajria Anindya Utami

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: