Tingginya tingkat emisi karbon setiap tahunnya membuat negara-negara di dunia dihadapkan dengan krisis perubahan iklim, tak terkecuali Indonesia.
Senior Business Development Manager Energy Solution Wärtsilä Indonesia Wiwin Suhendri mengatakan, pengimplementasian Energi Baru Terbarukan (EBT) dinilai bisa jadi kunci menahan dampak negatif perubahan iklim. Dengan itu, emisi karbon yang dihasilkan pembangkit listrik tenaga fosil yang kini eksisting bisa diredam.
Sementara itu, pemerintah masih bertumpu pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Sekaligus masih mempertimbangkan dukungan penerapan EBT yang bisa terjangkau.
Baca Juga: Net Zero Emission Jadi Pilihan Utama Meski Gerus Pertumbuhan Ekonomi
"(Pemerintah) bukan antara mau enggak mau, kalau kita belajar, PLTU itu bukan karena PLN enggak mau (menyetop), tapi dunia menekan, tuntutan global warming itu harus, tapi terpaksa kan, harus mau (menyetop PLTU)," ujar Wiwin dalam konferensi pers, Kamis (15/9/2022).
Wiwin menilai jika pajak karbon lambat laun pasti akan diterapkan oleh pemerintah, meskipun telah mundur sebanyak dua kali dari rencana implementasi mulai April 2022 lalu.
"Carbon tax itu kan instrumen keuangan, pendanaan dunia mrngharuskan mengarah ke sana, kenapa harus tinggalkan PLTU? Ya karena enggak ada lagi yang ngasih duit (pendanaan), Indonesia dipaksa untuk mengikuti (arah kebijakan) keuangan dunia. Masalah waktu saja (untuk penerapannya), maka roadmap ini penting supaya PLN kita dorong supaya enggak ketinggalan momentum, kalau mundur terus, nanti PR-nya banyak di belakang," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Sales Director Energy Business Wärtsilä Indonesia Febron Siregar menilai Indonesia tak perlu ragu untuk bisa melakukan transisi ke energi bersih. Pasalnya, sudah dimulai di beberapa daerah yang menginstalasi pembangkit liatrik tenaga bio hingga pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
"Implementasi PLTS atau PLTB yang signifikan diperlukan dan sebenernya tak harus ganggu jaringan listrik karena di-support flexible power plant. Harusnya tak ada lagi keraguan implementasi EBT secara signifikan," ujar Febron.
Sampai sekarang belum ada PLTB yang besar, PLTB Sidrap berkapasitas 70 MW, belum ada yang seperti China dan India yang sampai 1 GW.
"Itu yang kita tunggu, komitmen itu sudah ada, roadmap-nya sudah ada, tinggal bergerak ke arah sana saja," ujarnya.
Meski begitu, ia mengakui kalau penggunaan EBT seperti PLTS tak bisa terus-menerus sepanjang hari memproduksi listrik sebagaimana PLTU. Namun, itu tak bisa jadi alasan masih tetap bergantung ke PLTU.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: